Tahukah Anda tentang Pendeta???????
Teman-Teman Kata pendeta itu berasal dari bahasa ritual agama Budha yang artinya: pemimpin keagamaan. Sedangkan dalam konteks yang lain, konsepsi istilah pendeta berasal dari bahasa Latin yaitu “Pastor” yang berarti sebagai “Gembala” yang bertugas menggembalakan kawanan domba. Dalam konteks kehidupan kerohanian pendeta menunjuk kepada seseorang yang melakukan pekerjaan pemeliharaan rohani terhadap umat Allah.
Dalam bahasa Yunani pendeta “Poimen” berarti gembala. Teman-teman istilah gembala sendiri disebutkan oleh Rasul Paulus dalam suratnya yang dikirimkan kepada jemaat di Efesus (silahkan saudara-saudara membaca Efesus 4:11). Selanjutnya dalam kepemimpinan gereja mula-mula, Paulus menyebutkan dan menjelaskan lima jabatan kepemimpinan pelayanan yang menentukan efektifitas pertumbuhan gereja dan iman gereja yaitu :
” nabi-nabi, rasul-rasul, gembala-gembala, pengajar-pengajar dan pemberita Injil.” (wah....ternyata tidak sembarangan yah.....sebutan pendeta dan orang yang disebut pendeta...karena sama penyebutannya dengan yang dimaksudkan oleh Paulus)
Nabi, Rasul serta Pemberita Injil ternyata adalah menunjuk kepada kepemimpinan dalam pelayanan Gereja secara umum dan bersifat eksternal, sedangkan gembala dan pengajar merupakan kepemimpinan pelayanan gereja secara khusus yang bersifat internal. Jadi teman-teman dapat dikatakan bahwa seorang pengajar itu (baca pendeta red) adalah gembala dan gembala dapat mengajar. Adanya kependetaan karena kebutuhan kepemimpinan dalam gereja.
Menjadi pendeta dalam Gereja Toraja itu tidak gampang teman-teman....Padahal banyak orang yang beranggapan bahwa menjadi pendeta itu gampang aja...benar kah?
Banyak orang yang ingin menjadi pendeta, tapi kenyataannya tidak seperti itu. Sebab banyak yang terpanggil tapi sedikit yang terpilih. Tuhan sendirilah yang menetapkan seseorang untuk menjadi pelayanNya sebagai pendeta (baca kisah tentang Saulus)....Jadi pendeta itu adalah orang yang dipilih, ditetapkan dan diutus oleh Tuhan menyatakan Syalom....
Proses menjadi pendeta juga tidak mudah teman-teman....ada begitu banyak prosesnya....seperti...mendaftar untuk ikut tes penerimaaan dan seleksi sebagai calon proponen....selanjutnya mengikuti tes yang dibagi dalam beberapa tahap....kalau dinyatakan lulus selanjutnya diperlengkapi sebagai calon proponen di Institut Gereja Toraja selama 3 bulan. Selanjutnya bila sudah dinyatakan mampu...diutuslah ke dalam jemaat-jemaat menjadi proponen....Setelah menjadi proponen masih melalui proses 2 tahap di Institut lagi....kalau sudah “Matang” sebagai proponen selama 2 tahun....diujilah kemampuan berteologinya, liturginya, manajemen (kemampuannya dalam memimpin jemaat dan orang-orangnya), misiologinya dan masih banyak lagi di haadapan para teolog Gereja Toraja yang notabene adalah master dan doktor teologi....wah teman-teman....terkadang keringat harus bercucuran bila ujian seperti ini.
Selanjutnya teman-teman....bila menurut para tim penguji dan kehendak Tuhan sudah matang untuk menjadi calon pendeta, maka luluslah anda. Tapi belum berakhir sampai disitu...masih ada ujian yang justru paling menentukan yaitu ujian ajaran dan pemeriksaan perihidup di tengah-tengah jemaat oleh tim penguji dari BPMS GT dan majelis jemaat....jikalau dalam ujian ini Tuhan melayakkan kita melalui mereka-mereka itu, barulah kita lega...wah....wah....Tahap akhir adalah proses pengurapan yang dilakukan dalam Ibadah Pengurapan....setelah ibadah selesai...maka anda sudah dapat disebut TUANG PANDITA.
WELCOME TO MY BLOG....GOOD BLESS YOU
WELCOME TO MY BLOG....GOD BLESS YOU
Silahkan Menelusuri Blog Ini....
Silahkan Menelusuri Blog Ini....
Minggu, 21 November 2010
Sabtu, 20 November 2010
Manusia Toraja dan Tongkonan
Manusia Toraja dan Tongkonan
Dalam kalangan masyarakat toraja, ada beberapa pemahaman yang berkembang tentang keberadaan Tongkonan. Pemahaman tersebut berasal baik dari tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh gereja maupun dari anggota masyarakat. Pendapat-pendapat itu antara lain:
1. Bahwa Tongkonan adalah tempat duduk atau kedudukan yang berarti rumah pusaka yang telah turun-temurun lama (bnd. J. Tammu & van der Veen) . Pemahaman ini berarti pula bahwa Tongkonan merupakan suatu “tempat/kedudukan” yang mempunyai fungsi, peran dan nilai sosial, keagamaan dan hukum dalam masyarakat.
2. Bahwa Tongkonan itu adalah rumah adat Toraja. Dalam arti bahwa semua rumah yang berbentuk perahu itu adalah Tongkonan .
3. Rumah Tongkonan adalah lebih berorientasi pada fungsi sosial dan bukan dalam bentuk/fisik .
4. Bahwa Tongkonan adalah pusat kebudayaan Toraja, sama seperti keraton di Jawa atau istana kerajaan-kerajaan di mana saja . Hal ini menandakan bahwa tongkonan merupakan lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat dalam wilayah tongkonan tersebut.
5. Bahwa Tongkonan adalah tempat bermusyawarah/balai pertemuan keluarga dan masyarakat yang lahir dan berketurunan dari Tongkonan tersebut .
Dengan melihat pendapat di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa penamaan tongkonan pada sebuah tempat, berlaku ketika masyarakat toraja menyadari perlunya kehadiran pemerintah/pemimpin untuk mengatur dan menyelesaikan segala sesuatu yang terjadi dan berlaku di tengah-tengah masyarakat atau dengan kata lain Tongkonan bukanlah sebuah nama, melainkan jenis benda yang mempunyai nama. Jadi tidak ada tongkonan yang tidak memiliki nama sebab tanpa nama ia bukanlah sebuah tongkonan. sebab itu kata an yang mengikuti tongkon dapat diartikan sebagai:
a. Kata keterangan yang menunjuk pada sebuah tempat tertentu, misalnya Banua puan, Kaero, Lion, To katapi, buntu pune, Kete’ kesu dan sebagainya.
b. Kata keterangan yang menjelaskan sifat dan fungsi tertentu, misalnya layuk, sangulele, Pesio aluk, Pa’ buntuan sugi dan sebagainya.
1. Bentuk Tongkonan
Bentuk tongkonan yang ada sekarang ini merupakan perkembangan terakhir dari masyarakat toraja dalam membangun tempat tinggalnya. Jauh sebelum bangunan ini, sebenarnya ada beberapa kali terjadi perubahan model/bentuk dari tempat tinggal manusia toraja pada mulanya. Adapun tempat tinggal tersebut dapat kita bagi dalam empat perkembangan yaitu:
1. Banua pandoko dena (rumah tenda “”).
Bentuk tempat tinggal seperti ini berasal dari langit dan beratapkan maa’ (kain pusaka). Tetapi dalam perkembangannya kemudian, atap rumah ini dibuat dari rumput alang-alang. Rumah ini tidak diletakkan di atas tanah, melainkan ia digantung sehingga nama rumah ini juga dikenal dengan nama banua di toke’(rumah yang digantung).
2. Banua Lentong A’pa’/Patongkon a’pa’ (Rumah dengan memakai empat tiang). Bentuk rumah seperti ini mulai dikembangkan sejak hadirnya penduduk baru yang sudah mengenal alat-alat dari besi. Atap rumah ditopang oleh empat buah tiang di setiap sudutnya. Rumah ini masih beratap dan berdindingkan rumput alang-alang.
3. Banua ditamben.(tamben=berselang seling).
Bangunan ini didirikan dengan menyusun kayu secara berselang seling yang kemudian membentuk badan rumah. Bentuk atap masih tetap berbentuk segi tiga. Pada bentuk bangunan inilah mulai dikenal adanya penguasa adat dan diberlakukannya sebuah sistem kepemerintahan. Rumah milik penguasa di tempatkan di sebuah dataran/tempat yang tinggi sebagai simbol kekuasaan.
4. Banua Tonglo atau banua sanda a’riri (sanda=banyak, a’riri= tiang).
Bentuk dari bangunan inilah yang dapat kita lihat sebagaimana yang kita kenal sekarang ini sebagai rumah adat Toraja kecuali pada ukirannya dimana ukiran yang ada pada mulanya hanya empat dasar (Garonto Passura), yaitu :
a. Ukiran Pa’ Bare Allo yang bentuknya seperti bundarnya matahari (allo) dan bundarnya Bulan (bulan) adalah ukiran yang melambangkan kesatuan dari negeri Tondok Lepongan Bulan Tana Matari Allo.
b. Ukiran Pa’ Manuk Londong yaitu ukiran yang bergambar ayam jantan yang melambangkan adanya aturan dan norma-norma hukum masyarakat dari kesatuan negeri Tondok Lepongan Bulan Gontingna Matari Allo.
c. Pa, Tedong yaitu ukiran yang bentuknya seperti gambar kepala kerbau, yang artinya sebagai lambang kehidupan kerja dan kemakmuran (kekayaaan)
d. Pa’ Sussuk yaitu ukiran yang hanya merupakan jalur-jalur lurus yang sama bentuknya, yang mengartikan bentuk dari pergaulan manusia toraja, yaitu hidup dalam kebersamaan (persaudaraan ) maupun melambangkan kehidupan dan hubungan manusia dengan Tuhannya
Jadi dapat pula dikatakan bahwa masyarakat toraja yang tidak memiliki aksara mulai memvisualisasikan pemahaman hidupnya melalui ukiran dan warna . Adapun bentuk bangunan tidaklah mengeser bentuk rumah sebelumnya. Hal ini dapat terlihat dengan masih adanya bentuk rumah barung-barung sebagai hasil perpaduan dari bentuk rumah pantongkon a’pa sampai sekarang ini . Bentuk rumah ditonglo ini pada awalnya hanya dibangun dan diperuntukkan bagi penguasa/pemimpin.
2. Jenis/Golongan Rumah Orang Toraja
Oleh masyarakat toraja dalam komunitas sosialnya, rumah sebagai tempat tinggal dan kedudukannya dalam masyarakat dipahami dalam dua hal, yaitu:
a. Banua Tongkonan
Bentuk bangunan ini adalah rumah Tonglo’. Rumah ini dikatakan sebagai sebuah tongkonan apabila ia mempunyai fungsi dan peran di dalam masyarakat. Fungsi dan peran itu adalah terjadinya kekuasaan dan pemerintahan. Kemunculan fungsi ini semakin besar ketika penguasa-penguasa baru (to manurun di langi’) datang dan memperkenalkan sistem kekuasaan dan pemerintahan yang baru .
Kedatangan ini juga kemudian memunculkan pembagian dan penamaan tongkonan menurut peran dan fungsinya masing-masing di tengah-tengah masyarakat. Adapun tingkatan tongkonan tersebut adalah:
1. Tongkonan Layuk (Maha-Tinggi-Agung) yaitu Tongkonan yang pertama-tama menjadi tempat sumber perintah dan kekuasan-kekuasaan dengan peraturan-peraturan tertentu di Tana Toraja dahulu kala. Tongkonan Layuk ini kemudian dikenal sebagai Tongkonan Pesio’ Aluk (Pesio’ = pembuat-pencipta; Aluk = agama-aturan masyarakat). Sebab itu untuk dikatakan sebagai Tongkonan Layuk, maka tongkonan itu sendiri haruslah memenuhi semua syarat dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Ciri-ciri dari tongkonan ini dapat kita lihat dengan adanya Kabongo’ Katik, empat dasar ukiran (garonto passura) dan A’riri Posi . Untuk tiga ciri pertama juga terdapat pada Tongkonan Pekaamberan/Pekaindoran.
2. Tongkonan Pekaamberan/pekaindoran (Pekaamberan = kedudukan bapak; pekaindoran = kedudukan ibu) yang juga biasa disebut dengan Tongkonan Kaparenggesen sebagai tongkonan anak to patalo. Tongkonan ini didirikan oleh penguasa-penguasa dalam masing-masing daerah untuk mengatur pemerintahan adat berdasarkan aturan dari Tongkonan Layuk/Pesio’ Aluk.
3. Tongkonan Batu A’riri (Batu = batu; A’riri = tiang, penyanggah) yaitu tongkonan yang tidak mempunyai peranan dan kekuasaan adat, tetapi tongkonan yang hanya sebagai tempat persatuan dan tempat pembinaan keluarga dari turunan yang pertama-tama membangun rumah Tongkonan itu.
b. Banua barung-barung
Bangunan rumah ini terbuat dari bambu dan dapat pula dikatakan sebagai rumah pondok. Bentuk rumah ini adalah banua patongkon apa dengan terjadi penambahan pada adanya tiang rumah sehingga rumah ini sama dengan rumah panggung . Rumah atau bangunan rumah ini merupakan hak perorangan atau pribadi yang tidak mempunyai peranan dan fungsi adat. Rumah ini dalam perkembangan masyarakat toraja kemudian dibuat sama dengan model banua tongkonan namun bukan berarti rumah ini dapat dikatakan sebagai sebuah tongkonan . Namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa rumah barung-barung atau rumah pribadi ini akan dapat meningkat statusnya menjadi sebuah tongkonan di kemudian hari, apabila rumah itu:
a. Mempunyai peninggalan harta benda yang perlu dipelihara oleh seluruh turunan dari Tongkonan itu.
b. Mempunyai kedudukan baru dalam masyarakat dan menduduki satu peranan adat. Dalam arti bahwa, statusnya dapat meningkat, apabila keturunan dari rumah barung-barung itu pernah berjasa dalam suatu wilayah/penanian, sehingga kemudian mendapat suatu gelar di tengah-tengah masyarakat .
c. Mempunyai sesuatu yang telah menguntungkan bagi semua keturunannya, berjasa dan pernah menang perang dalam mempertahankan kedaulatan dari rumah dan penanian/tempat dimana rumah itu berada. Apabila hal ini terjadi, maka status rumah tersebut berubah menjadi Tongkonan Pekaamberan-pekaindoran yang dalam perannya disebut sebagai Tongkonan Kaparenggesan atau Tongkonan anak to patalo .
Dalam peristiwa peningkatan status rumah barung-barung menjadi sebuah Tongkonan, tidaklah mudah sebab selain hal di atas juga diperlukan persetujuan dari seluruh turunan (generasi) dari garis keturunan rumah tersebut, persetujuan dari masyarakat dan perlu juga dilakukan upacara peresmian dari keluarga yang akan menjadikan rumah/barung itu menjadi tongkonan.
Terjadinya perubahan dan adanya kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kedudukan sebuah tongkonan melahirkan penamaan-penamaan pada tongkonan untuk membedakan keberadaannya dalam lingkungan masyarakat pada segi fungsi dan peran seperti yang telah dipaparkan di atas.
Perlu juga dipahami bahwa dalam masyarakat toraja yang terbagi dalam tiga daerah adat masing-masing memiliki tiga jenis atau tingkatan tongkonan. Bahwa dalam satu wilayah adat, jenis tongkonan ini masih terbagi ke beberapa tempat, misalnya di daerah di pekaamberan juga terdapat beberapa Tongkonan Layuk. Tongkonan Layuk tersebut antara lain: Tongkonan Layuk Kesu' di Ke’te Kesu, Tongkonan Layuk To’ Sendana di Sereale Tikala, dll.
Dalam kalangan masyarakat toraja, ada beberapa pemahaman yang berkembang tentang keberadaan Tongkonan. Pemahaman tersebut berasal baik dari tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh gereja maupun dari anggota masyarakat. Pendapat-pendapat itu antara lain:
1. Bahwa Tongkonan adalah tempat duduk atau kedudukan yang berarti rumah pusaka yang telah turun-temurun lama (bnd. J. Tammu & van der Veen) . Pemahaman ini berarti pula bahwa Tongkonan merupakan suatu “tempat/kedudukan” yang mempunyai fungsi, peran dan nilai sosial, keagamaan dan hukum dalam masyarakat.
2. Bahwa Tongkonan itu adalah rumah adat Toraja. Dalam arti bahwa semua rumah yang berbentuk perahu itu adalah Tongkonan .
3. Rumah Tongkonan adalah lebih berorientasi pada fungsi sosial dan bukan dalam bentuk/fisik .
4. Bahwa Tongkonan adalah pusat kebudayaan Toraja, sama seperti keraton di Jawa atau istana kerajaan-kerajaan di mana saja . Hal ini menandakan bahwa tongkonan merupakan lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat dalam wilayah tongkonan tersebut.
5. Bahwa Tongkonan adalah tempat bermusyawarah/balai pertemuan keluarga dan masyarakat yang lahir dan berketurunan dari Tongkonan tersebut .
Dengan melihat pendapat di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa penamaan tongkonan pada sebuah tempat, berlaku ketika masyarakat toraja menyadari perlunya kehadiran pemerintah/pemimpin untuk mengatur dan menyelesaikan segala sesuatu yang terjadi dan berlaku di tengah-tengah masyarakat atau dengan kata lain Tongkonan bukanlah sebuah nama, melainkan jenis benda yang mempunyai nama. Jadi tidak ada tongkonan yang tidak memiliki nama sebab tanpa nama ia bukanlah sebuah tongkonan. sebab itu kata an yang mengikuti tongkon dapat diartikan sebagai:
a. Kata keterangan yang menunjuk pada sebuah tempat tertentu, misalnya Banua puan, Kaero, Lion, To katapi, buntu pune, Kete’ kesu dan sebagainya.
b. Kata keterangan yang menjelaskan sifat dan fungsi tertentu, misalnya layuk, sangulele, Pesio aluk, Pa’ buntuan sugi dan sebagainya.
1. Bentuk Tongkonan
Bentuk tongkonan yang ada sekarang ini merupakan perkembangan terakhir dari masyarakat toraja dalam membangun tempat tinggalnya. Jauh sebelum bangunan ini, sebenarnya ada beberapa kali terjadi perubahan model/bentuk dari tempat tinggal manusia toraja pada mulanya. Adapun tempat tinggal tersebut dapat kita bagi dalam empat perkembangan yaitu:
1. Banua pandoko dena (rumah tenda “”).
Bentuk tempat tinggal seperti ini berasal dari langit dan beratapkan maa’ (kain pusaka). Tetapi dalam perkembangannya kemudian, atap rumah ini dibuat dari rumput alang-alang. Rumah ini tidak diletakkan di atas tanah, melainkan ia digantung sehingga nama rumah ini juga dikenal dengan nama banua di toke’(rumah yang digantung).
2. Banua Lentong A’pa’/Patongkon a’pa’ (Rumah dengan memakai empat tiang). Bentuk rumah seperti ini mulai dikembangkan sejak hadirnya penduduk baru yang sudah mengenal alat-alat dari besi. Atap rumah ditopang oleh empat buah tiang di setiap sudutnya. Rumah ini masih beratap dan berdindingkan rumput alang-alang.
3. Banua ditamben.(tamben=berselang seling).
Bangunan ini didirikan dengan menyusun kayu secara berselang seling yang kemudian membentuk badan rumah. Bentuk atap masih tetap berbentuk segi tiga. Pada bentuk bangunan inilah mulai dikenal adanya penguasa adat dan diberlakukannya sebuah sistem kepemerintahan. Rumah milik penguasa di tempatkan di sebuah dataran/tempat yang tinggi sebagai simbol kekuasaan.
4. Banua Tonglo atau banua sanda a’riri (sanda=banyak, a’riri= tiang).
Bentuk dari bangunan inilah yang dapat kita lihat sebagaimana yang kita kenal sekarang ini sebagai rumah adat Toraja kecuali pada ukirannya dimana ukiran yang ada pada mulanya hanya empat dasar (Garonto Passura), yaitu :
a. Ukiran Pa’ Bare Allo yang bentuknya seperti bundarnya matahari (allo) dan bundarnya Bulan (bulan) adalah ukiran yang melambangkan kesatuan dari negeri Tondok Lepongan Bulan Tana Matari Allo.
b. Ukiran Pa’ Manuk Londong yaitu ukiran yang bergambar ayam jantan yang melambangkan adanya aturan dan norma-norma hukum masyarakat dari kesatuan negeri Tondok Lepongan Bulan Gontingna Matari Allo.
c. Pa, Tedong yaitu ukiran yang bentuknya seperti gambar kepala kerbau, yang artinya sebagai lambang kehidupan kerja dan kemakmuran (kekayaaan)
d. Pa’ Sussuk yaitu ukiran yang hanya merupakan jalur-jalur lurus yang sama bentuknya, yang mengartikan bentuk dari pergaulan manusia toraja, yaitu hidup dalam kebersamaan (persaudaraan ) maupun melambangkan kehidupan dan hubungan manusia dengan Tuhannya
Jadi dapat pula dikatakan bahwa masyarakat toraja yang tidak memiliki aksara mulai memvisualisasikan pemahaman hidupnya melalui ukiran dan warna . Adapun bentuk bangunan tidaklah mengeser bentuk rumah sebelumnya. Hal ini dapat terlihat dengan masih adanya bentuk rumah barung-barung sebagai hasil perpaduan dari bentuk rumah pantongkon a’pa sampai sekarang ini . Bentuk rumah ditonglo ini pada awalnya hanya dibangun dan diperuntukkan bagi penguasa/pemimpin.
2. Jenis/Golongan Rumah Orang Toraja
Oleh masyarakat toraja dalam komunitas sosialnya, rumah sebagai tempat tinggal dan kedudukannya dalam masyarakat dipahami dalam dua hal, yaitu:
a. Banua Tongkonan
Bentuk bangunan ini adalah rumah Tonglo’. Rumah ini dikatakan sebagai sebuah tongkonan apabila ia mempunyai fungsi dan peran di dalam masyarakat. Fungsi dan peran itu adalah terjadinya kekuasaan dan pemerintahan. Kemunculan fungsi ini semakin besar ketika penguasa-penguasa baru (to manurun di langi’) datang dan memperkenalkan sistem kekuasaan dan pemerintahan yang baru .
Kedatangan ini juga kemudian memunculkan pembagian dan penamaan tongkonan menurut peran dan fungsinya masing-masing di tengah-tengah masyarakat. Adapun tingkatan tongkonan tersebut adalah:
1. Tongkonan Layuk (Maha-Tinggi-Agung) yaitu Tongkonan yang pertama-tama menjadi tempat sumber perintah dan kekuasan-kekuasaan dengan peraturan-peraturan tertentu di Tana Toraja dahulu kala. Tongkonan Layuk ini kemudian dikenal sebagai Tongkonan Pesio’ Aluk (Pesio’ = pembuat-pencipta; Aluk = agama-aturan masyarakat). Sebab itu untuk dikatakan sebagai Tongkonan Layuk, maka tongkonan itu sendiri haruslah memenuhi semua syarat dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Ciri-ciri dari tongkonan ini dapat kita lihat dengan adanya Kabongo’ Katik, empat dasar ukiran (garonto passura) dan A’riri Posi . Untuk tiga ciri pertama juga terdapat pada Tongkonan Pekaamberan/Pekaindoran.
2. Tongkonan Pekaamberan/pekaindoran (Pekaamberan = kedudukan bapak; pekaindoran = kedudukan ibu) yang juga biasa disebut dengan Tongkonan Kaparenggesen sebagai tongkonan anak to patalo. Tongkonan ini didirikan oleh penguasa-penguasa dalam masing-masing daerah untuk mengatur pemerintahan adat berdasarkan aturan dari Tongkonan Layuk/Pesio’ Aluk.
3. Tongkonan Batu A’riri (Batu = batu; A’riri = tiang, penyanggah) yaitu tongkonan yang tidak mempunyai peranan dan kekuasaan adat, tetapi tongkonan yang hanya sebagai tempat persatuan dan tempat pembinaan keluarga dari turunan yang pertama-tama membangun rumah Tongkonan itu.
b. Banua barung-barung
Bangunan rumah ini terbuat dari bambu dan dapat pula dikatakan sebagai rumah pondok. Bentuk rumah ini adalah banua patongkon apa dengan terjadi penambahan pada adanya tiang rumah sehingga rumah ini sama dengan rumah panggung . Rumah atau bangunan rumah ini merupakan hak perorangan atau pribadi yang tidak mempunyai peranan dan fungsi adat. Rumah ini dalam perkembangan masyarakat toraja kemudian dibuat sama dengan model banua tongkonan namun bukan berarti rumah ini dapat dikatakan sebagai sebuah tongkonan . Namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa rumah barung-barung atau rumah pribadi ini akan dapat meningkat statusnya menjadi sebuah tongkonan di kemudian hari, apabila rumah itu:
a. Mempunyai peninggalan harta benda yang perlu dipelihara oleh seluruh turunan dari Tongkonan itu.
b. Mempunyai kedudukan baru dalam masyarakat dan menduduki satu peranan adat. Dalam arti bahwa, statusnya dapat meningkat, apabila keturunan dari rumah barung-barung itu pernah berjasa dalam suatu wilayah/penanian, sehingga kemudian mendapat suatu gelar di tengah-tengah masyarakat .
c. Mempunyai sesuatu yang telah menguntungkan bagi semua keturunannya, berjasa dan pernah menang perang dalam mempertahankan kedaulatan dari rumah dan penanian/tempat dimana rumah itu berada. Apabila hal ini terjadi, maka status rumah tersebut berubah menjadi Tongkonan Pekaamberan-pekaindoran yang dalam perannya disebut sebagai Tongkonan Kaparenggesan atau Tongkonan anak to patalo .
Dalam peristiwa peningkatan status rumah barung-barung menjadi sebuah Tongkonan, tidaklah mudah sebab selain hal di atas juga diperlukan persetujuan dari seluruh turunan (generasi) dari garis keturunan rumah tersebut, persetujuan dari masyarakat dan perlu juga dilakukan upacara peresmian dari keluarga yang akan menjadikan rumah/barung itu menjadi tongkonan.
Terjadinya perubahan dan adanya kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kedudukan sebuah tongkonan melahirkan penamaan-penamaan pada tongkonan untuk membedakan keberadaannya dalam lingkungan masyarakat pada segi fungsi dan peran seperti yang telah dipaparkan di atas.
Perlu juga dipahami bahwa dalam masyarakat toraja yang terbagi dalam tiga daerah adat masing-masing memiliki tiga jenis atau tingkatan tongkonan. Bahwa dalam satu wilayah adat, jenis tongkonan ini masih terbagi ke beberapa tempat, misalnya di daerah di pekaamberan juga terdapat beberapa Tongkonan Layuk. Tongkonan Layuk tersebut antara lain: Tongkonan Layuk Kesu' di Ke’te Kesu, Tongkonan Layuk To’ Sendana di Sereale Tikala, dll.
Jumat, 19 November 2010
Kamis, 18 November 2010
Buatku dan Buatmu
Indahnya Pengampunan
Matius 6:12
Dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami;
Bacaan Alkitab setahun: Mazmur 79; Roma 7; Ulangan 5-6
Gladys adalah isteri dari pendeta Graham Staines yang berasal dari Australia. Dalam pelayanan mereka ke Orissa, India, Gladys harus kehilangan suami dan juga kedua anaknya dalam sebuah kekerasan yang terjadi di sana. Namun dalam suasana penuh duka seperti itu, Gladys menyatakan bahwa ia memaafkan pembunuh suami serta kedua anaknya. "Saya telah memaafkan pembunuh suami saya dan tidak memiliki kebencian. Karena pengampunan membawa kesembuhan dari kebencian dan kekerasan," tegas Gladys. Setelah kematian suami dan kedua anaknya, ia tetap tinggal di Orissa dan meneruskan pelayanan yang dimulai oleh suaminya di rumah kaum penderita lepra.
Pengampunan adalah jalan yang menghubungkan kembali pemulihan hubungan yang terputus antara Allah dan manusia. Allah melakukannya dengan menjelma menjadi manusia serta mengalami penderitaan sebagai ganti hukuman yang mestinya diterima oleh manusia.
Pengampunan yang dilakukan secara tulus dan sukarela atas kesalahan orang lain - entah kecil maupun besar - akan menyembuhkan luka hati yang ada pada dirinya sendiri. Hal itu juga mendatangkan pemulihan atas hubungan yang retak.
Tuhan Yesus menempatkan pengampunan antar sesama itu sebagai prasyarat pengampunan yang disediakan Allah bagi manusia. Jika seseorang bersedia mengampuni kesalahan sesamanya, Allah juga akan mengampuni kesalahan orang itu, begitu pula sebaliknya. Dampak pengampunan itu tidak hanya dirasakan oleh pribadi yang bersangkutan, tetapi juga orang-orang di sekitarnya.
Orang yang tidak bisa memaafkan orang lain adalah orang yang memutuskan jembatan kehidupan yang harus dilaluinya.
Matius 6:12
Dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami;
Bacaan Alkitab setahun: Mazmur 79; Roma 7; Ulangan 5-6
Gladys adalah isteri dari pendeta Graham Staines yang berasal dari Australia. Dalam pelayanan mereka ke Orissa, India, Gladys harus kehilangan suami dan juga kedua anaknya dalam sebuah kekerasan yang terjadi di sana. Namun dalam suasana penuh duka seperti itu, Gladys menyatakan bahwa ia memaafkan pembunuh suami serta kedua anaknya. "Saya telah memaafkan pembunuh suami saya dan tidak memiliki kebencian. Karena pengampunan membawa kesembuhan dari kebencian dan kekerasan," tegas Gladys. Setelah kematian suami dan kedua anaknya, ia tetap tinggal di Orissa dan meneruskan pelayanan yang dimulai oleh suaminya di rumah kaum penderita lepra.
Pengampunan adalah jalan yang menghubungkan kembali pemulihan hubungan yang terputus antara Allah dan manusia. Allah melakukannya dengan menjelma menjadi manusia serta mengalami penderitaan sebagai ganti hukuman yang mestinya diterima oleh manusia.
Pengampunan yang dilakukan secara tulus dan sukarela atas kesalahan orang lain - entah kecil maupun besar - akan menyembuhkan luka hati yang ada pada dirinya sendiri. Hal itu juga mendatangkan pemulihan atas hubungan yang retak.
Tuhan Yesus menempatkan pengampunan antar sesama itu sebagai prasyarat pengampunan yang disediakan Allah bagi manusia. Jika seseorang bersedia mengampuni kesalahan sesamanya, Allah juga akan mengampuni kesalahan orang itu, begitu pula sebaliknya. Dampak pengampunan itu tidak hanya dirasakan oleh pribadi yang bersangkutan, tetapi juga orang-orang di sekitarnya.
Orang yang tidak bisa memaafkan orang lain adalah orang yang memutuskan jembatan kehidupan yang harus dilaluinya.
Rabu, 17 November 2010
Artikelku
Masyarakat yang ingin maju dan berkembang adalah masyarakat yang berbudaya, sehingga tidak mengherankan bagi kita kalau ada yang menyatakan bahwa tanpa kebudayaan, suatu masyarakat akan disebut sebagai masyarakat yang statis, masyarakat yang mati dalam memahami simbol dalam pemaknaannya, sehingga masyarakat tersebut disebut sebagai masyarakat yang tidak berkembang.
Kata kultur (culture) yang sama artinya dengan kebudayaan dalam pengertian segala daya upaya dan tindakan manusia mengolah tanah dan menata alam, berasal dari bahasa latin Colere. Menurut J. Verkuyl perkataan itu berarti mengolah, mengerjakan tanah atau bertani, dan sebagainya . Perkembangan hidup manusia yang dinamis turut pula mempengaruhi perkembangan bagi kebudayaan. Begitu halnya dengan nilai-nilai dan norma-norma tradisional turut mengalami perubahan. Dengan demikian jelaslah bahwa kebudayaan itu dinamis .
Hal yang sama dituntut untuk dinyatakan dan dilakukan oleh gereja, dimana gereja diutus ke dalam dunia untuk berada dalam dunia, dalam rangka mengemban misi Allah, yaitu memberitakan Injil. Gereja bukanlah suatu lembaga manusia walaupun manusia dipercayakan untuk menyelenggarakannya. Gereja itu berasal dari Allah, dan karena itu semua prinsip-prinsip dan norma-norma
yang berlaku di dalamnya berasal dari Tuhan sendiri . Dalam mengemban dan melaksanakan misinya di dalam dunia, gereja selalu berjumpa dan hidup bersama dengan kebudayaan-kebudayaan dimana ia hadir untuk menyampaikan misinya. Perjumpaan antara Injil dengan kebudayaan, merupakan persoalan yang sudah berlangsung lama dan berlaku sepanjang sejarah kekristenan. Adapun dalam sepanjang sejarah kekristenan, Injil selalu berhubungan dengan kebudayaan, karena kebudayaan merupakan suatu unsur yang menentukan dalam konteks dimana gereja berada. Sehingga dalam sejarah gereja, kebudayaan menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan berhasil tidaknya Injil memasuki sendi-sendi kebudayaan itu.
Sebagai satu suku Bangsa di Sulawesi Selatan orang toraja mengembangkan bentuk kebudayaannya sendiri, sehingga lewat kebudayaan tersebut orang toraja mempunyai kedudukan tersendiri dan unik di antara suku-suku yang ada. Salah satunya adalah pembangunan Rumah. Rumah di Tana Toraja selain didiami oleh manusia sama dengan rumah-rumah di daerah lain, juga mempunyai fungsi serta peran maupun arti yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat toraja dan merupakan hal atau masalah yang tak dapat dipungkiri oleh setiap manusia toraja dimanapun dia berada. Rumah pribadi berbeda dengan rumah Tongkonan. Rumah yang bernama tongkonan dianggap sebagai pusaka dan hak milik turun-temurun yang berasal atau berketurunan dari manusia yang pertama membangun tongkonan tersebut. Rumah tongkonan juga berperan sebagai tempat kedudukan pemimpin adat/masyarakat dan merupakan tempat dibuatnya aturan-aturan sosial kemasyarakatan, hukum kemasyarakatan dan ritual keagamaan . Sementara itu, rumah biasa atau yang biasa disebut banua barung-barung hanya berfungsi dalam membina persekutuan keluarga/pribadi dan tidak mempunyai peranan dalam adat .
Rumah tongkonan yang terbagi atas beberapa tingkatan merupakan tempat untuk berkumpul mendengar, membicarakan dan menyelesaikan segala masalah yang penting-penting . Dahulu seorang yang memegang kekuasaan dan menjabat tugas adat selalu didatangi oleh masyarakat untuk meminta perintah dan petunjuk atas setiap masalah yang ada dalam daerah kekuasaan penguasa itu tinggal. Semua orang yang datang itu kemudian duduk mendengar dan menerima perintah dari penguasa itu. Jadi dapatlah dikatakan pula bahwa nilai dasar dari tongkonan adalah persekutuan yang membuat dan mengembangkan hidupnya dalam kehidupan bersama berdasarkan kaidah-kaidah normatif yang merupakan perekat kehidupan persekutuan itu. Dengan kata lain, falsafah masyarakat toraja adalah persekutuan berdasarkan Aluk Sola Pemali. Nilai-nilai dasar inilah yang dibuat, dikembangkan serta dijaga di tongkonan.
Dengan demikian, penamaan tempat tinggal sebagai sebuah tongkonan dimulai ketika sistem kepemerintahan berlaku di tengah-tengah masyarakat. Bersamaan dengan itu pula, stratifikasi dalam masyarakat sangat berpengaruh terhadap sistem pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat.
Bagi Gereja Toraja yang hadir dan bertumbuh dalam konteks budaya dan adat Toraja, senantiasa menyadari kehadiran dan pelayanannya dalam konteks tersebut. Karena itu dibutuhkan strategi untuk membentuk pola-pola hidup dan pelayanan dalam jemaat Gereja Toraja. Salah satu strategi yang menurut hemat penulis sangat penting adalah mengangkat nilai-nilai budaya yang terkandung pada budaya Tongkonan Layuk. Untuk itu dibutuhkan suatu kajian yang mendalam terhadap nilai-nilai tersebut.
Melihat bahwa nilai, fungsi, peran dan pengaruh yang melekat pada Tongkonan Layuk sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia toraja yang sebagian besar adalah merupakan warga gereja maka perlulah Gereja Toraja secara khusus untuk melakukan upaya transformasi “tongkonan” berdasarkan iman Kristen sehingga menjadi sarana pekabaran Injil, sebagai salah satu upaya kontekstualisasi teologi.
Kata kultur (culture) yang sama artinya dengan kebudayaan dalam pengertian segala daya upaya dan tindakan manusia mengolah tanah dan menata alam, berasal dari bahasa latin Colere. Menurut J. Verkuyl perkataan itu berarti mengolah, mengerjakan tanah atau bertani, dan sebagainya . Perkembangan hidup manusia yang dinamis turut pula mempengaruhi perkembangan bagi kebudayaan. Begitu halnya dengan nilai-nilai dan norma-norma tradisional turut mengalami perubahan. Dengan demikian jelaslah bahwa kebudayaan itu dinamis .
Hal yang sama dituntut untuk dinyatakan dan dilakukan oleh gereja, dimana gereja diutus ke dalam dunia untuk berada dalam dunia, dalam rangka mengemban misi Allah, yaitu memberitakan Injil. Gereja bukanlah suatu lembaga manusia walaupun manusia dipercayakan untuk menyelenggarakannya. Gereja itu berasal dari Allah, dan karena itu semua prinsip-prinsip dan norma-norma
yang berlaku di dalamnya berasal dari Tuhan sendiri . Dalam mengemban dan melaksanakan misinya di dalam dunia, gereja selalu berjumpa dan hidup bersama dengan kebudayaan-kebudayaan dimana ia hadir untuk menyampaikan misinya. Perjumpaan antara Injil dengan kebudayaan, merupakan persoalan yang sudah berlangsung lama dan berlaku sepanjang sejarah kekristenan. Adapun dalam sepanjang sejarah kekristenan, Injil selalu berhubungan dengan kebudayaan, karena kebudayaan merupakan suatu unsur yang menentukan dalam konteks dimana gereja berada. Sehingga dalam sejarah gereja, kebudayaan menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan berhasil tidaknya Injil memasuki sendi-sendi kebudayaan itu.
Sebagai satu suku Bangsa di Sulawesi Selatan orang toraja mengembangkan bentuk kebudayaannya sendiri, sehingga lewat kebudayaan tersebut orang toraja mempunyai kedudukan tersendiri dan unik di antara suku-suku yang ada. Salah satunya adalah pembangunan Rumah. Rumah di Tana Toraja selain didiami oleh manusia sama dengan rumah-rumah di daerah lain, juga mempunyai fungsi serta peran maupun arti yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat toraja dan merupakan hal atau masalah yang tak dapat dipungkiri oleh setiap manusia toraja dimanapun dia berada. Rumah pribadi berbeda dengan rumah Tongkonan. Rumah yang bernama tongkonan dianggap sebagai pusaka dan hak milik turun-temurun yang berasal atau berketurunan dari manusia yang pertama membangun tongkonan tersebut. Rumah tongkonan juga berperan sebagai tempat kedudukan pemimpin adat/masyarakat dan merupakan tempat dibuatnya aturan-aturan sosial kemasyarakatan, hukum kemasyarakatan dan ritual keagamaan . Sementara itu, rumah biasa atau yang biasa disebut banua barung-barung hanya berfungsi dalam membina persekutuan keluarga/pribadi dan tidak mempunyai peranan dalam adat .
Rumah tongkonan yang terbagi atas beberapa tingkatan merupakan tempat untuk berkumpul mendengar, membicarakan dan menyelesaikan segala masalah yang penting-penting . Dahulu seorang yang memegang kekuasaan dan menjabat tugas adat selalu didatangi oleh masyarakat untuk meminta perintah dan petunjuk atas setiap masalah yang ada dalam daerah kekuasaan penguasa itu tinggal. Semua orang yang datang itu kemudian duduk mendengar dan menerima perintah dari penguasa itu. Jadi dapatlah dikatakan pula bahwa nilai dasar dari tongkonan adalah persekutuan yang membuat dan mengembangkan hidupnya dalam kehidupan bersama berdasarkan kaidah-kaidah normatif yang merupakan perekat kehidupan persekutuan itu. Dengan kata lain, falsafah masyarakat toraja adalah persekutuan berdasarkan Aluk Sola Pemali. Nilai-nilai dasar inilah yang dibuat, dikembangkan serta dijaga di tongkonan.
Dengan demikian, penamaan tempat tinggal sebagai sebuah tongkonan dimulai ketika sistem kepemerintahan berlaku di tengah-tengah masyarakat. Bersamaan dengan itu pula, stratifikasi dalam masyarakat sangat berpengaruh terhadap sistem pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat.
Bagi Gereja Toraja yang hadir dan bertumbuh dalam konteks budaya dan adat Toraja, senantiasa menyadari kehadiran dan pelayanannya dalam konteks tersebut. Karena itu dibutuhkan strategi untuk membentuk pola-pola hidup dan pelayanan dalam jemaat Gereja Toraja. Salah satu strategi yang menurut hemat penulis sangat penting adalah mengangkat nilai-nilai budaya yang terkandung pada budaya Tongkonan Layuk. Untuk itu dibutuhkan suatu kajian yang mendalam terhadap nilai-nilai tersebut.
Melihat bahwa nilai, fungsi, peran dan pengaruh yang melekat pada Tongkonan Layuk sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia toraja yang sebagian besar adalah merupakan warga gereja maka perlulah Gereja Toraja secara khusus untuk melakukan upaya transformasi “tongkonan” berdasarkan iman Kristen sehingga menjadi sarana pekabaran Injil, sebagai salah satu upaya kontekstualisasi teologi.
Selayang Pandang
Gambaran Umum Pelayanan
Klasis Masanda
A. Letak Geografis
Wilayah Pelayanan Klasis Masanda berada dalam lingkup pemerintahan Kecamatan Masanda Kabupaten Tana Toraja. Terletak di sebelah barat ibu kota Kabupaten Tana Toraja, Makale, tepatnya merupakan perbatasan antara kabupaten Tana Toraja (Sulawesi Selatan) dengan Kabupaten Mamasa (Sulawesi Barat). Berjarak kurang lebih 60 KM dari Makale memungkinkan kita untuk dapat menempuhnya dengan waktu 4-5 jam dengan menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat. Untuk dapat tiba di Masanda dengan mengendarai kendaraan roda empat, maka kita harus menyewa mobil jenis Hartop/Land Cruiser di Bittuang. Hanya jenis kendaraan ini yang dapat dipakai mengingat jalan/medan di Masanda sangat berat yang terdiri atas dua karakter jalan yaitu jalan berbatu dan jalan berlumpur. Tetapi yang perlu disyukuri bahwa lewat program pemerintah, Jalan utama sudah sebagian diperbaiki/diaspal, dengan mengingat bahwa Masanda merupakan jalur Trans Provinsi Sulawesi Selatan dengan Provinsi Sulawesi Barat.
Di sisi lain, jalan yang menghubungakan satu kampung dengan kampung yang lain hanya dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua (motor). Sebab jalan-jalan tersebut berada di antara lereng-lereng gunung yang terjal berbatu dan lembah yang penuh dengan lumpur. Bahkan sebagian harus melewati sungai untuk tiba di beberapa kampung. Bila hujan, orang lebih memilih berjalan kaki dibanding naik motor. Bahkan bila musim hujan tiba, transportasi lumpuh sebab masyarakat sangat takut untuk berkendara. Sedangkan untuk komunikasi via Handphone tidak bisa dilakukan sebab belum ada jaringan.
B. Pemerintahan
Kecamatan Masanda terbagi atas 8 Lembang. Data terakhir menyebutkan bahwa jumlah keseluruhan masyarakat Masanda adalah 2500 Jiwa yang berdiam di lembah dan pegunungan. Mata pencaharian masyarakat umumnya adalah berladang dan bertani. Hanya sebagian orang yang bekerja dalam lingkup pemerintahan sebagai Pegawai Negeri Sipil (Guru). Karena tersebar di pegunungan dan lembah maka hasil pertanian melalui sawah hanya dapat mencukupi kebutuhan masing-masing keluarga. Bahkan terkadang tidak cukup sampai panen selanjutnya. Hal ini disebabkan karena sawah-sawah penduduk kecil berbentuk sengkedan. Itulah sebabnya 95% masyarakat di Masanda mendapatkan RASKIN (beras masyarakat miskin).
C. Taraf Kehidupan dan Fasilitas Umum
Taraf kehidupan masyarakat di Masanda menurut analisa saya selama menjadi proponen hingga saat ini, masih berada dalam taraf bawah. Sebab masyarakat hanya mengandalkan penghidupan dari sektor pertanian (beras) dan perkebunan (kopi dan coklat). Beras hanya untuk konsumsi keluarga sedangkan hasil penjualan kopi dan coklat digunakan untuk keperluan rumah tangga dan keperluan sekolah anak-anak mereka. Tidak ada sektor yang dapat diandalkan untuk mengembangkan taraf ekonomi masyarakat. Namun pun demikian, bukan berarti bahwa tidak ada usaha dan perkembangan yang terjadi untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Saat ini ada beberapa program pemerintah yang sementara dikerjakan di Masanda yaitu perbaikan dan perluasan jalan, pembentukan kelompok tani, pengelolaan PAMSIMAS (air minum untuk masyarakat), Penghijauan hutan dan penyediaan kompor hemat energy yang merupakan bantuan Bank Dunia. Fasilitas umum yang ada di Masanda sekarang ini antara lain:
1. Sekolah mulai dari tingkat SD, SMP dan SMU
Umumnya tenaga pendidik di masing-masing tingkatan adalah pendatang dari berbagai kampung. Hanya sebagian yang merupakan penduduk lokal. Yang perlu disyukuri bahwa sebagian besar anak-anak sudah mengenyam pendidikan hingga saat ini.
2. Puskesmas
Di Masanda hanya ada 1 Puskesmas yang bertempat di wilayah Lembang Kadundung. Keberadaan puskesmas ini sangat menguntungkan masyarakat. Sebab masyarakat yang sakit tidak lagi harus ke Makale untuk berobat. Kecuali bila memang harus ditangani secara khusus, akan dirujuk ke Makale. Kemudian juga melalui berbagai penyuluhan yang dilakukan, masyarakat mulai belajar hidup sehat. Saat ini Petugas yang melayani di Puskesmas berjumlah 14 orang.
3. Pasar Tradisional
Di Masanda saat ini terdapat 2 pasar tradisional. 1 di Ponding Ao’ dan 1 di Mewang . Masyarakat sangat merasakan manfaat dari pasar tersebut. Sebab pasar merupakan tempat bagi masyarakat untuk bertukar informasi, membeli kebutuhan keluarga dan menjual hasil perkebunan.
4. Kantor Pertanian
Mengingat masyarakat masih menggunakan cara tradisional dalam bertani, maka melalui usaha dari tokoh-tokoh masyarakat diusullah kepada pemerintah untuk mendampingi dan membekali masyarakat dengan teknik bertani yang modern melalui tenaga penyuluh pertanian. Akhirnya dibangunlah kantor pertanian tersebut untuk dan demi kesejahteraan masyarakat.
Kami sesama pelayan selalu bersinergi satu sama lain dan juga bersinergi dengan pemerintah untuk meningkatkan taraf perekonomian masyarakat/jemaat. kerjasamaa itu terwujud dengan kami membuat kebun percontohan dan menghadirkan Pdt. Y. Baso, S.Th melalui pembinaan ternak babi. Kami sangat berharap bahwa masih ada karya lain yang Tuhan kehendaki untuk kami lakukan di Klasis Masanda.
D. Tantangan dan Pergumulan
Gambaran umum di atas, merupakan cerminan keadaan yang dialami Gereja Toraja dan juga denominasi gereja yang lain. Klasis Masanda sendiri terdiri dari 13 Jemaat 5 Cabang Kebaktian dan 1 pos pelayan yang terbagi atas 3 Unit pelayanan yang tersebar di antara pegunungan, perbukitan dan lembah. Letak jemaat yang satu ke jemaat yang lain berjarak antara 15 – 40 Km. Untuk menjangkau setiap jemaat diperlukan waktu yang sangat melelahkan karena medan yang berat oleh kondisi jalan yang kurang baik. Tenaga pelayan yang ada di Klasis Masanda saat ini terdiri dari 3 orang pendeta dengan Pdt. Wahyu T. Parrangan, S.Th, MM melayani di Unit Induk, Pdt. Henri Rapi, S.Th melayani di Unit Selatan dan Pdt. Djoni So’ba, S.Th melayani di Unit Utara. Kurangnya tenaga pelayan di Klasis Masanda disebabkan karena berbagai Faktor. Faktor tersebut antara lain:
1. Klasis Masanda masuk dalam kategori wilayah pelayanan Gereja Toraja yang memiliki medan pelayanan sangat berat sehingga terkadang para pelayan sangat bergumul bila akan ditempatkan di wilayah pelayan ini. Pergumulan tersebut sepenuhnya bukan dari pribadi para pelayan tetapi terkadang juga dari pihak keluarga.
PROFIL PELAYAN GEREJA TORAJA DI KLASIS MASANDA
1. Pdt. Wahyu T. Parrangan, S.Th. MM
- Alumni STT INTIM Makassar.
- Status Belum Menikah.
- Melayani 5 Jemaat dari tahun 2002 sampai sekarang.
2. Pdt. Henri Rapi, S.Th
- Alumni STT INTIM Makassar
- Status Sudah menikah
- Melayani 8 Jemaat dari tahun 2008 sampai sekarang
3. Pdt. Djoni So’ba, S.Th
- Alumni STT INTIM Makassar
- Status Sudah Menikah
- Melayani 5 Jemaat dari tahun 2008 sampai sekarang
Klasis Masanda
A. Letak Geografis
Wilayah Pelayanan Klasis Masanda berada dalam lingkup pemerintahan Kecamatan Masanda Kabupaten Tana Toraja. Terletak di sebelah barat ibu kota Kabupaten Tana Toraja, Makale, tepatnya merupakan perbatasan antara kabupaten Tana Toraja (Sulawesi Selatan) dengan Kabupaten Mamasa (Sulawesi Barat). Berjarak kurang lebih 60 KM dari Makale memungkinkan kita untuk dapat menempuhnya dengan waktu 4-5 jam dengan menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat. Untuk dapat tiba di Masanda dengan mengendarai kendaraan roda empat, maka kita harus menyewa mobil jenis Hartop/Land Cruiser di Bittuang. Hanya jenis kendaraan ini yang dapat dipakai mengingat jalan/medan di Masanda sangat berat yang terdiri atas dua karakter jalan yaitu jalan berbatu dan jalan berlumpur. Tetapi yang perlu disyukuri bahwa lewat program pemerintah, Jalan utama sudah sebagian diperbaiki/diaspal, dengan mengingat bahwa Masanda merupakan jalur Trans Provinsi Sulawesi Selatan dengan Provinsi Sulawesi Barat.
Di sisi lain, jalan yang menghubungakan satu kampung dengan kampung yang lain hanya dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua (motor). Sebab jalan-jalan tersebut berada di antara lereng-lereng gunung yang terjal berbatu dan lembah yang penuh dengan lumpur. Bahkan sebagian harus melewati sungai untuk tiba di beberapa kampung. Bila hujan, orang lebih memilih berjalan kaki dibanding naik motor. Bahkan bila musim hujan tiba, transportasi lumpuh sebab masyarakat sangat takut untuk berkendara. Sedangkan untuk komunikasi via Handphone tidak bisa dilakukan sebab belum ada jaringan.
B. Pemerintahan
Kecamatan Masanda terbagi atas 8 Lembang. Data terakhir menyebutkan bahwa jumlah keseluruhan masyarakat Masanda adalah 2500 Jiwa yang berdiam di lembah dan pegunungan. Mata pencaharian masyarakat umumnya adalah berladang dan bertani. Hanya sebagian orang yang bekerja dalam lingkup pemerintahan sebagai Pegawai Negeri Sipil (Guru). Karena tersebar di pegunungan dan lembah maka hasil pertanian melalui sawah hanya dapat mencukupi kebutuhan masing-masing keluarga. Bahkan terkadang tidak cukup sampai panen selanjutnya. Hal ini disebabkan karena sawah-sawah penduduk kecil berbentuk sengkedan. Itulah sebabnya 95% masyarakat di Masanda mendapatkan RASKIN (beras masyarakat miskin).
C. Taraf Kehidupan dan Fasilitas Umum
Taraf kehidupan masyarakat di Masanda menurut analisa saya selama menjadi proponen hingga saat ini, masih berada dalam taraf bawah. Sebab masyarakat hanya mengandalkan penghidupan dari sektor pertanian (beras) dan perkebunan (kopi dan coklat). Beras hanya untuk konsumsi keluarga sedangkan hasil penjualan kopi dan coklat digunakan untuk keperluan rumah tangga dan keperluan sekolah anak-anak mereka. Tidak ada sektor yang dapat diandalkan untuk mengembangkan taraf ekonomi masyarakat. Namun pun demikian, bukan berarti bahwa tidak ada usaha dan perkembangan yang terjadi untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Saat ini ada beberapa program pemerintah yang sementara dikerjakan di Masanda yaitu perbaikan dan perluasan jalan, pembentukan kelompok tani, pengelolaan PAMSIMAS (air minum untuk masyarakat), Penghijauan hutan dan penyediaan kompor hemat energy yang merupakan bantuan Bank Dunia. Fasilitas umum yang ada di Masanda sekarang ini antara lain:
1. Sekolah mulai dari tingkat SD, SMP dan SMU
Umumnya tenaga pendidik di masing-masing tingkatan adalah pendatang dari berbagai kampung. Hanya sebagian yang merupakan penduduk lokal. Yang perlu disyukuri bahwa sebagian besar anak-anak sudah mengenyam pendidikan hingga saat ini.
2. Puskesmas
Di Masanda hanya ada 1 Puskesmas yang bertempat di wilayah Lembang Kadundung. Keberadaan puskesmas ini sangat menguntungkan masyarakat. Sebab masyarakat yang sakit tidak lagi harus ke Makale untuk berobat. Kecuali bila memang harus ditangani secara khusus, akan dirujuk ke Makale. Kemudian juga melalui berbagai penyuluhan yang dilakukan, masyarakat mulai belajar hidup sehat. Saat ini Petugas yang melayani di Puskesmas berjumlah 14 orang.
3. Pasar Tradisional
Di Masanda saat ini terdapat 2 pasar tradisional. 1 di Ponding Ao’ dan 1 di Mewang . Masyarakat sangat merasakan manfaat dari pasar tersebut. Sebab pasar merupakan tempat bagi masyarakat untuk bertukar informasi, membeli kebutuhan keluarga dan menjual hasil perkebunan.
4. Kantor Pertanian
Mengingat masyarakat masih menggunakan cara tradisional dalam bertani, maka melalui usaha dari tokoh-tokoh masyarakat diusullah kepada pemerintah untuk mendampingi dan membekali masyarakat dengan teknik bertani yang modern melalui tenaga penyuluh pertanian. Akhirnya dibangunlah kantor pertanian tersebut untuk dan demi kesejahteraan masyarakat.
Kami sesama pelayan selalu bersinergi satu sama lain dan juga bersinergi dengan pemerintah untuk meningkatkan taraf perekonomian masyarakat/jemaat. kerjasamaa itu terwujud dengan kami membuat kebun percontohan dan menghadirkan Pdt. Y. Baso, S.Th melalui pembinaan ternak babi. Kami sangat berharap bahwa masih ada karya lain yang Tuhan kehendaki untuk kami lakukan di Klasis Masanda.
D. Tantangan dan Pergumulan
Gambaran umum di atas, merupakan cerminan keadaan yang dialami Gereja Toraja dan juga denominasi gereja yang lain. Klasis Masanda sendiri terdiri dari 13 Jemaat 5 Cabang Kebaktian dan 1 pos pelayan yang terbagi atas 3 Unit pelayanan yang tersebar di antara pegunungan, perbukitan dan lembah. Letak jemaat yang satu ke jemaat yang lain berjarak antara 15 – 40 Km. Untuk menjangkau setiap jemaat diperlukan waktu yang sangat melelahkan karena medan yang berat oleh kondisi jalan yang kurang baik. Tenaga pelayan yang ada di Klasis Masanda saat ini terdiri dari 3 orang pendeta dengan Pdt. Wahyu T. Parrangan, S.Th, MM melayani di Unit Induk, Pdt. Henri Rapi, S.Th melayani di Unit Selatan dan Pdt. Djoni So’ba, S.Th melayani di Unit Utara. Kurangnya tenaga pelayan di Klasis Masanda disebabkan karena berbagai Faktor. Faktor tersebut antara lain:
1. Klasis Masanda masuk dalam kategori wilayah pelayanan Gereja Toraja yang memiliki medan pelayanan sangat berat sehingga terkadang para pelayan sangat bergumul bila akan ditempatkan di wilayah pelayan ini. Pergumulan tersebut sepenuhnya bukan dari pribadi para pelayan tetapi terkadang juga dari pihak keluarga.
PROFIL PELAYAN GEREJA TORAJA DI KLASIS MASANDA
1. Pdt. Wahyu T. Parrangan, S.Th. MM
- Alumni STT INTIM Makassar.
- Status Belum Menikah.
- Melayani 5 Jemaat dari tahun 2002 sampai sekarang.
2. Pdt. Henri Rapi, S.Th
- Alumni STT INTIM Makassar
- Status Sudah menikah
- Melayani 8 Jemaat dari tahun 2008 sampai sekarang
3. Pdt. Djoni So’ba, S.Th
- Alumni STT INTIM Makassar
- Status Sudah Menikah
- Melayani 5 Jemaat dari tahun 2008 sampai sekarang
Artikel
Artikel
PENDAMPINGAN PASTORAL DIBIDANG MAKNA PENDIDIKAN (SKILL)
A.LATAR BELAKANG PENTINGNYA PENDIDIKAN
B.MAKSUD (VISI) PENDIDIKAN
C.MOTIVASI SETIAP ANGGOTA JEMAAT UNTUK MAKNA PENDIDIDKAN BAGI GENERASI
D.KATA ALKITAB TENTANG PENDIDIKAN
A.Latar Belakang Pentingnya Pendidikan
Nuansa pendidikan di daerah pelayanan Klasis Masanda menurut pengamatan kami, masih sangat jauh dibanding dengan nuansa pendidikan di Tana Toraja lain. Apalagi dibanding pendidikan skop nuansa pendidikan Indonesia. Sementara kita tahu bahwa pendididkan itu membuat dunia seseorang lebih luas dibanding orang yang kurang berpendidikan. Yang dimaksud dengan dunia yang lebih luas adalah melalui pendidikan itulah kita dapat berinteraksi social dengan berbagai manusia yang berpengetahuan, sementara bila kita tidak berpengetahuan komunikasi kita dengan orang yang berpengetahuan tidak nyambung, sehingga dunia kita sebatas level skop yang lebih kecil. Hal lain dari kurangnya pengetahuan adalah menimbulkan penyakit social yaitu dibidang pernikahan terjadi kasus pernikahan dini. Dibidang lain, gampang dipengaruhi penyakit-penyakit social lain antara lain, judi, dan tidak punya pendirian (gampang terbawa arus oleh orang-orang yang punya pendidikan) itulah sebabnya muncul istilah “orang bodoh makanannya orang pintar”.
B.Maksud (Visi) Pendidikan
Konseling tentang pendidikan terus kami galakkan di tengah-tengah jemaat sehubungan dengan jawaban situasi latar belakang yang kami amati. MOTIVASI TERSEBUT TERLAKUKAN BAIK DALAM KEBAKTIAN RUMAH TANGGA DAN KEBAKTIAN HARI MINGGU DAN SHARING , tentang makna ke depan tentang pendidikan terhadap generasi jemaat.
a.Pendidikan membuka nuansa pemikiran generasi jemaat untuk bernuansa yang lebih luas. Sebab dengan adanya pendidikan, komunikasi pengetahuan terhadap orang yang berpengatahuan dapat nyambung. Sehingga mereka dapat memperoleh kawan sekerja yang lebih luas diberbagai bidang, sekaligus peluang kerja yang lebih baik mereka dapat memperolehnya.
b.Pentingnya pendidikan pula adalah mereka dapat lebih dewasa memikirkan tentang masa depan tentang tanggung jawab masa depan dikala mereka memasuki rumah tangga.
c.Pengaruh sosial yang berdampak negative, generasi yang berpendidikan lebih menyaring pengaruh itu bila dibandingkan dengan generasi yang tidak berpendidikan. Sebab melalui pendidikan, kekritisan terhadap pengaruh social lebih bagus dibanding tidak berpendidikan.
C.Motivasi setiap anggota jemaat untuk makna pendididkan bagi generasi
a.Mengadakan analogi
Mengadakan analogi antara orang yang berpendidikan dengan orang yang tidak berpendidikan. Contoh, camat kami bisa menjadi camat karena dia adalah sarjana. Bapak Welem dapat menjadi ketua DPRD Tana Toraja karena berpendidikan. Sementara bapak “anu” yang tidak tamat SD hanya menekuni kebun, penghasilannya tidak karu-karuan apalagi bekerja sama dengan orang-orang penting tidak dapat terjangkau karena tidak berpendidikan. Contoh lain Bapak Bambang dapat menjadi Kepala Sekolah karena sarjana, sedangkan bapak “anu” hanya menjadi Bujang sekolah karena tidak tamat SD. Bapak Dion yang adalah sarjana hukum dapat mengatur dan mengarahkan keluarganya menjadi keluarga yang rukun dan bahagia. Sedangkan yang tidak berpendidikan, kehidupan keluarganya menjadi kacau balau karena tidak mampu mengatur dan mengarahkan keluarganya.
b.Makna Pendidikan dapat mengikuti budaya perkembangan zaman sehingga komunikasi timbal balik antara generasi anggota jemaat dengan dunia luas dapat terjadi.
c.Pengenalan madsalah secara objektif, mereka dapat memilikinya. Dengan kata lain, analisis masalah sesuai dengan apa yang terjadi.
D.Kata alkitab tentang pendidikan
Secara alkitabiah, Allah menempatkan manusia di taman Eden (dunia yang kita tempati) untuk mengelolah dan memelihara taman itu. Mengelola dan memelihara taman yang Allah berikan secara baik, salah satu jalurnya adalah melalaui pendidikan. Karena:
1. Pendididkan menjadikan kita lebih terampil untuk mengelolah taman itu sesuai dengan bidang yang kita tekuni. Misanya bidang pertanian, peternakan, hukum, kesehatan dll.
2.Pendidikan lebih memberikan pengetahuan untuk lebih memelihara apa yang telah kita usahakan.
3.Pendidkan dapat mengendalikan diri kita dan bersinergi dengan berbagai potensi yang dimilki oleh sesama kita.
4.Pendidikan memampukan kita lebih bijak untuk mengenal segala sesuatu indah pada waktunya
5.Pendidikan membuat kita sadar mengenal diri bahwa apa yang kita tahu sangat kecil dbandingt pengetahuan Tuhan sehingga kita semakin beriman.
GLORIA
Pdt. Henri Rapi, S.Th
PENDAMPINGAN PASTORAL DIBIDANG MAKNA PENDIDIKAN (SKILL)
A.LATAR BELAKANG PENTINGNYA PENDIDIKAN
B.MAKSUD (VISI) PENDIDIKAN
C.MOTIVASI SETIAP ANGGOTA JEMAAT UNTUK MAKNA PENDIDIDKAN BAGI GENERASI
D.KATA ALKITAB TENTANG PENDIDIKAN
A.Latar Belakang Pentingnya Pendidikan
Nuansa pendidikan di daerah pelayanan Klasis Masanda menurut pengamatan kami, masih sangat jauh dibanding dengan nuansa pendidikan di Tana Toraja lain. Apalagi dibanding pendidikan skop nuansa pendidikan Indonesia. Sementara kita tahu bahwa pendididkan itu membuat dunia seseorang lebih luas dibanding orang yang kurang berpendidikan. Yang dimaksud dengan dunia yang lebih luas adalah melalui pendidikan itulah kita dapat berinteraksi social dengan berbagai manusia yang berpengetahuan, sementara bila kita tidak berpengetahuan komunikasi kita dengan orang yang berpengetahuan tidak nyambung, sehingga dunia kita sebatas level skop yang lebih kecil. Hal lain dari kurangnya pengetahuan adalah menimbulkan penyakit social yaitu dibidang pernikahan terjadi kasus pernikahan dini. Dibidang lain, gampang dipengaruhi penyakit-penyakit social lain antara lain, judi, dan tidak punya pendirian (gampang terbawa arus oleh orang-orang yang punya pendidikan) itulah sebabnya muncul istilah “orang bodoh makanannya orang pintar”.
B.Maksud (Visi) Pendidikan
Konseling tentang pendidikan terus kami galakkan di tengah-tengah jemaat sehubungan dengan jawaban situasi latar belakang yang kami amati. MOTIVASI TERSEBUT TERLAKUKAN BAIK DALAM KEBAKTIAN RUMAH TANGGA DAN KEBAKTIAN HARI MINGGU DAN SHARING , tentang makna ke depan tentang pendidikan terhadap generasi jemaat.
a.Pendidikan membuka nuansa pemikiran generasi jemaat untuk bernuansa yang lebih luas. Sebab dengan adanya pendidikan, komunikasi pengetahuan terhadap orang yang berpengatahuan dapat nyambung. Sehingga mereka dapat memperoleh kawan sekerja yang lebih luas diberbagai bidang, sekaligus peluang kerja yang lebih baik mereka dapat memperolehnya.
b.Pentingnya pendidikan pula adalah mereka dapat lebih dewasa memikirkan tentang masa depan tentang tanggung jawab masa depan dikala mereka memasuki rumah tangga.
c.Pengaruh sosial yang berdampak negative, generasi yang berpendidikan lebih menyaring pengaruh itu bila dibandingkan dengan generasi yang tidak berpendidikan. Sebab melalui pendidikan, kekritisan terhadap pengaruh social lebih bagus dibanding tidak berpendidikan.
C.Motivasi setiap anggota jemaat untuk makna pendididkan bagi generasi
a.Mengadakan analogi
Mengadakan analogi antara orang yang berpendidikan dengan orang yang tidak berpendidikan. Contoh, camat kami bisa menjadi camat karena dia adalah sarjana. Bapak Welem dapat menjadi ketua DPRD Tana Toraja karena berpendidikan. Sementara bapak “anu” yang tidak tamat SD hanya menekuni kebun, penghasilannya tidak karu-karuan apalagi bekerja sama dengan orang-orang penting tidak dapat terjangkau karena tidak berpendidikan. Contoh lain Bapak Bambang dapat menjadi Kepala Sekolah karena sarjana, sedangkan bapak “anu” hanya menjadi Bujang sekolah karena tidak tamat SD. Bapak Dion yang adalah sarjana hukum dapat mengatur dan mengarahkan keluarganya menjadi keluarga yang rukun dan bahagia. Sedangkan yang tidak berpendidikan, kehidupan keluarganya menjadi kacau balau karena tidak mampu mengatur dan mengarahkan keluarganya.
b.Makna Pendidikan dapat mengikuti budaya perkembangan zaman sehingga komunikasi timbal balik antara generasi anggota jemaat dengan dunia luas dapat terjadi.
c.Pengenalan madsalah secara objektif, mereka dapat memilikinya. Dengan kata lain, analisis masalah sesuai dengan apa yang terjadi.
D.Kata alkitab tentang pendidikan
Secara alkitabiah, Allah menempatkan manusia di taman Eden (dunia yang kita tempati) untuk mengelolah dan memelihara taman itu. Mengelola dan memelihara taman yang Allah berikan secara baik, salah satu jalurnya adalah melalaui pendidikan. Karena:
1. Pendididkan menjadikan kita lebih terampil untuk mengelolah taman itu sesuai dengan bidang yang kita tekuni. Misanya bidang pertanian, peternakan, hukum, kesehatan dll.
2.Pendidikan lebih memberikan pengetahuan untuk lebih memelihara apa yang telah kita usahakan.
3.Pendidkan dapat mengendalikan diri kita dan bersinergi dengan berbagai potensi yang dimilki oleh sesama kita.
4.Pendidikan memampukan kita lebih bijak untuk mengenal segala sesuatu indah pada waktunya
5.Pendidikan membuat kita sadar mengenal diri bahwa apa yang kita tahu sangat kecil dbandingt pengetahuan Tuhan sehingga kita semakin beriman.
GLORIA
Pdt. Henri Rapi, S.Th
MATERI PEMBINAAN
DIAKONIA YANG HOLISTIK
Oleh. Henri Rapi, S.Th
Pendahuluan
Gereja Toraja merupakan sebuah lembaga keagamaan yang lahir dari pengakuan Yesus Kristus itulah Tuhan dan Juruslamat. Terlahir, bertumbuh dan berbuah atas kehendak Tuhan melalui perjuangan seorang Zendeling yang bernama Antonio Aries Van de Loosdreth dalam mengkontekstualisasikan pekabaran Injil dalam konteks Toraja. Seiring dengan berjalannya waktu, Injil yang diwartakan para guru-guru Injil dan pendeta berbuah kasih dan kebenaran. Sampai pada satu titik, Gereja Toraja menjadi salah satu Sinode yang mempunyai anggota dan jemaat yang luas dan sangat potensial dalam berbagai bidang.
Melalui keputusan bersama sebagai lembaga, Gereja Toraja memutuskan dan menetapkan bahwa salah satu bentuk pelayanan yang harus dikembangkan dan dilakukan adalah bidang pelayanan Diakonia. Pelayanan diakonia ini tentunya oleh Gereja Toraja berlandas pijak pada keteladan Yesus yang telah melayani manusia dengan penuh cinta kasih. Karena itu Gereja sebagai pribadi maupun lembaga pun harus melaksanakan pelayanan kasih dengan penuh penghayatan iman terhadap Dia yang telah dulu melayani kita ciptaanNya. Bentuk pelayanan Diakonia yang Gereja Toraja laksanakan sekarang ini adalah Diakonia Karitatif di tengah-tengah jemaat. Pelayanan tersebut tentunya dirasakan oleh sebagaian anggota jemaat. Namun yang kemudian menjadi perenungan bagi Sinode Gereja Toraja dan Majelis Jemaat adalah, Apakah Diakonia Karitatif yang telah dilaksanakan tersebut sudah menolong dan mensejahterakan kehidupan anggota jemaat dalam meningkatkan ekonomi dan keluar dari kesulitan ekonomi? Kalau sudah mampu menjawab berarti gereja telah berhasil. Tetapi bila belum, bentuk diakonia apa yang harus gereja lakukan?
A.Identifikasi Masalah
Umumnya Jemaat-jemaat Gereja Toraja baik di pelosok/terpencil, semi kota dan kota mempunyai potensi untuk berkembang. Perkembangan tersebut tentunya ditunjang oleh Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam tergantung pada masing-masing konteks Jemaat. Terkhusus di daerah terpencil, peluang untuk peningkatan ekonomi jemaat untuk mencapai kesejahetaraan
dapat dilakukan. Mengingat Sumber Daya Alam yang menunjang dan kemauan untuk berkembang merupakan modal yang sangat baik. Namun pun demikian sampai saat ini, bentuk pelayanan yang dilakukan oleh gereja belum sepenuhnya mampu menyentuh apa yang menjadi kebutuhan warga jemaat. Pelayanan diakonia yang oleh gereja selama ini diharapkan dapat membangun kesadaran warga jemaat untuk mandiri, belum terjawab. Mengapa? Ada beberapa faktor yang membuat hal tersebut terjadi:
1.Gereja hanya sebatas menyuarakan pelayanan diakonia melalui khotbah.
2.Pelayan belum sepenuhnya menghadirkan diri sebagai motivator dalam pengembangan potensi yang ada di tengah-tengah jemaat.
3.Gereja hanya memberikan rasa nyaman yang semu melalui bantuan kepada keluarga yang tidak mampu setiap hari Natal, perkunjungan orang sakit. Tanpa menjawab kebutuhan warga jemaat.
Faktor tersebut masih merupakan landasan bagi majelis jemaat dalam pelaksanaan pelayanan Diakonia. Padahal sesungguhnya bentuk pelayanan diakonia yang harus dilakukan adalah memberdayakan potensi yang ada di tengah-tengah jemaat untuk mencapai kesejahteraan jasmani dan spiritual, sehingga keseimbangan dapat tercipta.
B.Realitas Kehidupan Berjemaat
Dalam kehidupan berjemaat, peluang untuk meningkatkan pelayanan diakonia dapat dilakukan. Sebab, warga jemaat sangat membutuhkan pendampingan agar mereka mandiri dalam pengembangan ekonomi jemaat. Siapa yang harus mendampingi? Tentunya adalah majelis jemaat. Begitu banyaknya potensi yang dapat dikembangkan, misalnya pertanian, peternakan, pertukangan, perkebunan, pendidikan, kesehatan dan warga jemaat yang mempunyai talenta dan warga jemaat yang tidak berdaya. Disinilah peran pelayan sebagai motivator sangat diharapkan untuk membimbing dan membekali warga jemaat mencapai kemandirian secara holistik untuk memaknai kehadiran mereka di tengah-tengah dunia ini melalui pelayanan Diakonia.
Diakonia mencakup arti yang luas yaitu semua pekerjaan yang dilakukan dalam pelayanan bagi Kristus di jemaat untuk membangun dan memperluas jemaat oleh mereka yang dipanggil sebagai pejabat dan oleh anggota jemaat. Dalam pelayanan diakonia di tengah-tengah jemaat, ada tujuh objek yang harus diperhatikan antara lain:
1.Diakonia bagi orang muda. Mereka yang mengalami krisis, menganggur, kehilangan kasih di keluarga memerlukan pelayanan yang serius.
2.Diakonia bagi usia lanjut. Para lanjut usia dengan masalah spesifik perlu dilayani dengan baik.
3.Diakonia bagi orang sakit. Bagaimana melakukan perbuatan bagi mereka melalui perkunjungan, doa dan bentuk-bentuk dukungan lain.
4.Pemeliharaan orang cacat. Gereja melalui program diakonia perlu memikirkan pelayanan kepada mereka.
5.Pelayanan diakonia bagi para janda, duda, mereka yang keluarganya tidak utuh.
6.Diakonia bagi mereka yang menghadapi kesulitan hidup dalam masyarakat oleh
berbagai faktor.
7.Pelayanan bagi para pengungsi, orang asing, pencari suaka.
Kecenderungan yang terjadi dalam pelayanan diakonia di tengah-tengah jemaat hanya pada point 5, termasuk Gereja Toraja sendiri. Sebab masih banyak pemahaman yang
berkembang dan hidup di antara para pelayan bahwa pelayanan diakonia itu hanya ditujukan kepada keluarga miskin, para janda dan orang sakit. Ketujuh objek dalam pelayanan diakonia ini bila semuanya tersentuh, maka itulah pelayanan diakonia yang sesungguhnya (holistik). Artinya bahwa pelayanan diakonia dalam hal ini adalah pelayanan dan keterlibatan gereja yang ditimbulkan dari panggilan dan tugasnya untuk memperhatikan, membantu, memerdekakan dan melepaskan setiap orang, yang tidak dapat memenuhi dasar hidup mereka dan keluarga mereka masing-masing pada masa kini dan masa depan dengan selayaknya.
C.Landasan Alkitabiah Tentang Diakonia
Gereja dipanggil untuk membina hubungan dan kerjasama dengan pemerintah dan semua pihak di dalam membina hubungan dan kerjasama di dalam masyarakat untuk mendatangkan kebaikan dan damai sejahtera bagi semua orang, dalam rangka mewujudkan dan mendirikan tanda-tanda Kerajaan Allah menuju kesempurnaannya di dalam Yesus Kristus. Yesus menegaskan bahwa Ia datang untuk melayani dan menjadi dan tebusan bagi orang banyak (Mark. 10:35-45). Yesus menyatakan diri sebagai pelayan (Luk. 22:27), Ia melakukan pembasuhan kaki murid-muridNya (Yoh.13:1-15).Berilah keadilan kepada orang yang lemah dan kepada anak yatim, belalah hak orang sengsara dan orang yang kekurangan dan meluputkan orang yang lemah dan miskin (Mazmur. 82: 3-4) Kesemua pekerjaan dan pelayanan Yesus semasa hidupNya merefleksikan dengan jelas tentang makna signifikan dari istilah diakonia. Bahkan lebih dalam ditegaskan bahwa Yesus rela meninggalkan kemuliaanNya di Sorga, mengosongkan diri dan menjadi manusia, dan tergerak hatiNya oleh sebab belas kasihan kepada semua orang yang sakit dan kelaparan.
Dalam Perjanjian Baru, kata Diakonia dipakai sebanyak seratus kali dalam berbagai bentuk. Umumnya diartikan sebagai pelayanan Kristus atau pelayanan Jemaat (Kolose. 1:7). Namun makna yang paling dalam dan penting adalah pelayanan Kristus bagi umatNya (Markus 10:45) dengan memberikan nyawanya. Dalam gereja/jemaat kemudian dikenal istilah Diaken. Yaitu pelayan yang bertugas melayani jemaat di luar hal-hal yang berkaitan dengan Liturgi (kebaktian). Mereka bertugas memperhatikan kehidupan orang-orang yang berada dalam kesusahan terutama pada janda dan yatim piatu. Dari pola hidup persekutuan jemaat mula-mula yang meletakkan dasar pelayanan di atas pelayanan Yesus Kristus, maka jelas bahwa pemberitaan Firman itu tidak terpisahkan dari pelayanan (diakonia) dan juga persekutuan
jemaat (koinonia). Dalam perkembangan masa kini, pemahaman tentang makna diakonia telah semakin berkembang. Diakonia bukan lagi hanya sebatas tugas para diaken, melainkan tugas seluruh warga jemaat karena diakonia adalah tugas Gereja secara menyeluruh selaku tubuh Krustus. Diakonia juga bukan hanya ditujukan kepada sesame anggota jemaat tetapi juga kepada umat kepercayaan lain, bahkan sampai kepada seluruh ciptaan (Mark. 10:45). Diakonia juga bertujuan untuk meningkatkan kemandirian dan kepercayaan diri warga jemaat.
Untuk menuju sebuah bentuk pelayanan yang holistic, maka kita terlebih dahulu harus mengenal jenis-jenis diakonia. Adapun jenis diakonia tersebut antara lain:
1.Diakonia Karitatif
Karitatif berarti belas kasihan. Diakonia jenis ini memberikan pelayanan yang Cuma-Cuma kepada orang yang tidak mampu, kena penyakit, kemalangan atau menderita karena bencana alam. Kelemahan dari bentuk pelayanan diakonia ini adalah tidak bertujuan untuk membawa yang dilayaninya kepada suatu perubahan, melainkan hanya sekedar meringankan penderitaan mereka yang dilayani.
2.Diakonia Reformatif
Reformatif berarti merubah kearah yang lebih baik. Pelayanan diakonia ini berusaha meningkatkan kehidupan atau kondisi yang dilayani. Misalnya melalui penyuluhan atau pemberian bantuan berupa modal kerja.
3.Diakonia Transformatif
Transform artinya merubah bentuk atau susunan menjadi yang berbeda atau lain. Diakonia jenis ini berusaha melakukan perubahan yang mutlak, bukan sekedar mengusahakan peningkatan pada yang dilayani. Diakonia reformatif misalnya berusaha memampukan petani meningkatkan produksi pertanian dari tahun ke tahun berikutnya.
Dari ketiga jenis diakonia yang sangat relevan dalam menjawab kebutuhan jemaat dewasa ini adalah diakonia transformative. Mengapa? Sebab timbulnya usaha mengembangkan usaha diakonia Transformatif ini, adalah berdasarkan kenyataan bahwa baik diakonia karitatif dan Reformatif kedua-duanya sering tidak membantu masyarakat yang dilayani dalam memecahkan permasalahan mereka.
D.Tugas Yang harus dilakukan gereja
Sesuai dengan judul yang menekankan pada kata ‘holistik’ maka perlu dipahami pengertian kata ‘holistik’ tersebut. Kata ‘holistik’ berasal dari kata “whole’ (Inggris) yanng artinya : seluruhnya, sepenuhnya. ‘Kata ‘holistik’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai pengertian “ciri pandangan yang menyatakan bahwa keseluruhan sebagai suatu kesatuan lebih penting dari pada satu-satu bagian dari suatu organisme”. Berdasarkan pengertian kata holistik diatas maka istilah ‘Diakonia yang holistik’ adalah pelayanan yang bersifat menyeluruh, tidak terbagi-bagi. Pelayanan yang memandang, memahami, mendekati dan memperlakukan manusia sebagai satu keseluruhan yang utuh. Ini merupakan sebuah pengakuan bahwa hakikat manusia adalah memang terdiri atas unsur-unsur dan aspek-aspek yang berbeda-beda (multidimensional), namun demikian kepelbagaian itu tidak dipahami sebagai yang bersiafat dikhotomis (dapat dipisah-pisahkan atau saling dipertentangankan) ataupun hirarkis (seolah-olah ada unsur yang lebih penting atau lebih mulia dari unsur lainnya).
Berdasarkan uraian tentang pentingnya pelayanan diakonia ditengah-tengah kehidupan persekutuan jemaat dan masyarakat, maka yang harus dilakukan oleh gereja Toraja dalam pelayanan diakonia yang bersifat holistic adalah:
1.Para pelayan harus mampu mengenal apa yang menjadi kebutuhan semua warga jemaat, terutama bagi mereka yang mempunyai permasalahan.
2.Pemberitaan Injil dalam rangka menciptakan damai sejahtera, sebaiknya tidak hanya melalui pelayanan mimbar, tetapi harus langsung berwujud tindakan. Tindakan dalam arti bahwa pelayan diharapkan menjadi motivator di tengah-tengah jemaat yang mendampingi dan menuntun warga jemaat dan masyarakat untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan sesuai masing-masing bidang yang mereka tekuni. Misalnya memberikan pelatihan dan pendampingan langsung di bidang pertanian, peternakan, kesehatan, pendidikan. Sedangkan bagi pengembangan talenta, gereja harus memfasilitasi dengan pengadaan alat demi berkembangnya talenta yang ada pada diri mereka untuk menciptakan dan merasakan damai sejahtera.
3.Mendorong warga gereja dan masyarakat sebagai pelaku perubahan dalam segala aspek kehidupan.
4.Membuat percontohan yang kemudian akan menjadi rangsangan bagi warga jemaat dan masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan. Misalnya membuat kebun percontohan sayur-mayur, pengembangan peternakan dan sebagainya.
Dengan demikian Inti dari pelayanan diakonia yang holistic adalah pelayanan yang utuh yang menyentuh, memperhatikan, mengusahakan dan mengembangkan semua dimensi kebutuhan warga jemaat dan masyarakat demi terwujudnya kemandirian dan kesejahteraan dalam bingkai persekutuan Yesus Kristus.
SEKIAN
DIAKONIA YANG HOLISTIK
Oleh. Henri Rapi, S.Th
Pendahuluan
Gereja Toraja merupakan sebuah lembaga keagamaan yang lahir dari pengakuan Yesus Kristus itulah Tuhan dan Juruslamat. Terlahir, bertumbuh dan berbuah atas kehendak Tuhan melalui perjuangan seorang Zendeling yang bernama Antonio Aries Van de Loosdreth dalam mengkontekstualisasikan pekabaran Injil dalam konteks Toraja. Seiring dengan berjalannya waktu, Injil yang diwartakan para guru-guru Injil dan pendeta berbuah kasih dan kebenaran. Sampai pada satu titik, Gereja Toraja menjadi salah satu Sinode yang mempunyai anggota dan jemaat yang luas dan sangat potensial dalam berbagai bidang.
Melalui keputusan bersama sebagai lembaga, Gereja Toraja memutuskan dan menetapkan bahwa salah satu bentuk pelayanan yang harus dikembangkan dan dilakukan adalah bidang pelayanan Diakonia. Pelayanan diakonia ini tentunya oleh Gereja Toraja berlandas pijak pada keteladan Yesus yang telah melayani manusia dengan penuh cinta kasih. Karena itu Gereja sebagai pribadi maupun lembaga pun harus melaksanakan pelayanan kasih dengan penuh penghayatan iman terhadap Dia yang telah dulu melayani kita ciptaanNya. Bentuk pelayanan Diakonia yang Gereja Toraja laksanakan sekarang ini adalah Diakonia Karitatif di tengah-tengah jemaat. Pelayanan tersebut tentunya dirasakan oleh sebagaian anggota jemaat. Namun yang kemudian menjadi perenungan bagi Sinode Gereja Toraja dan Majelis Jemaat adalah, Apakah Diakonia Karitatif yang telah dilaksanakan tersebut sudah menolong dan mensejahterakan kehidupan anggota jemaat dalam meningkatkan ekonomi dan keluar dari kesulitan ekonomi? Kalau sudah mampu menjawab berarti gereja telah berhasil. Tetapi bila belum, bentuk diakonia apa yang harus gereja lakukan?
A.Identifikasi Masalah
Umumnya Jemaat-jemaat Gereja Toraja baik di pelosok/terpencil, semi kota dan kota mempunyai potensi untuk berkembang. Perkembangan tersebut tentunya ditunjang oleh Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam tergantung pada masing-masing konteks Jemaat. Terkhusus di daerah terpencil, peluang untuk peningkatan ekonomi jemaat untuk mencapai kesejahetaraan
dapat dilakukan. Mengingat Sumber Daya Alam yang menunjang dan kemauan untuk berkembang merupakan modal yang sangat baik. Namun pun demikian sampai saat ini, bentuk pelayanan yang dilakukan oleh gereja belum sepenuhnya mampu menyentuh apa yang menjadi kebutuhan warga jemaat. Pelayanan diakonia yang oleh gereja selama ini diharapkan dapat membangun kesadaran warga jemaat untuk mandiri, belum terjawab. Mengapa? Ada beberapa faktor yang membuat hal tersebut terjadi:
1.Gereja hanya sebatas menyuarakan pelayanan diakonia melalui khotbah.
2.Pelayan belum sepenuhnya menghadirkan diri sebagai motivator dalam pengembangan potensi yang ada di tengah-tengah jemaat.
3.Gereja hanya memberikan rasa nyaman yang semu melalui bantuan kepada keluarga yang tidak mampu setiap hari Natal, perkunjungan orang sakit. Tanpa menjawab kebutuhan warga jemaat.
Faktor tersebut masih merupakan landasan bagi majelis jemaat dalam pelaksanaan pelayanan Diakonia. Padahal sesungguhnya bentuk pelayanan diakonia yang harus dilakukan adalah memberdayakan potensi yang ada di tengah-tengah jemaat untuk mencapai kesejahteraan jasmani dan spiritual, sehingga keseimbangan dapat tercipta.
B.Realitas Kehidupan Berjemaat
Dalam kehidupan berjemaat, peluang untuk meningkatkan pelayanan diakonia dapat dilakukan. Sebab, warga jemaat sangat membutuhkan pendampingan agar mereka mandiri dalam pengembangan ekonomi jemaat. Siapa yang harus mendampingi? Tentunya adalah majelis jemaat. Begitu banyaknya potensi yang dapat dikembangkan, misalnya pertanian, peternakan, pertukangan, perkebunan, pendidikan, kesehatan dan warga jemaat yang mempunyai talenta dan warga jemaat yang tidak berdaya. Disinilah peran pelayan sebagai motivator sangat diharapkan untuk membimbing dan membekali warga jemaat mencapai kemandirian secara holistik untuk memaknai kehadiran mereka di tengah-tengah dunia ini melalui pelayanan Diakonia.
Diakonia mencakup arti yang luas yaitu semua pekerjaan yang dilakukan dalam pelayanan bagi Kristus di jemaat untuk membangun dan memperluas jemaat oleh mereka yang dipanggil sebagai pejabat dan oleh anggota jemaat. Dalam pelayanan diakonia di tengah-tengah jemaat, ada tujuh objek yang harus diperhatikan antara lain:
1.Diakonia bagi orang muda. Mereka yang mengalami krisis, menganggur, kehilangan kasih di keluarga memerlukan pelayanan yang serius.
2.Diakonia bagi usia lanjut. Para lanjut usia dengan masalah spesifik perlu dilayani dengan baik.
3.Diakonia bagi orang sakit. Bagaimana melakukan perbuatan bagi mereka melalui perkunjungan, doa dan bentuk-bentuk dukungan lain.
4.Pemeliharaan orang cacat. Gereja melalui program diakonia perlu memikirkan pelayanan kepada mereka.
5.Pelayanan diakonia bagi para janda, duda, mereka yang keluarganya tidak utuh.
6.Diakonia bagi mereka yang menghadapi kesulitan hidup dalam masyarakat oleh
berbagai faktor.
7.Pelayanan bagi para pengungsi, orang asing, pencari suaka.
Kecenderungan yang terjadi dalam pelayanan diakonia di tengah-tengah jemaat hanya pada point 5, termasuk Gereja Toraja sendiri. Sebab masih banyak pemahaman yang
berkembang dan hidup di antara para pelayan bahwa pelayanan diakonia itu hanya ditujukan kepada keluarga miskin, para janda dan orang sakit. Ketujuh objek dalam pelayanan diakonia ini bila semuanya tersentuh, maka itulah pelayanan diakonia yang sesungguhnya (holistik). Artinya bahwa pelayanan diakonia dalam hal ini adalah pelayanan dan keterlibatan gereja yang ditimbulkan dari panggilan dan tugasnya untuk memperhatikan, membantu, memerdekakan dan melepaskan setiap orang, yang tidak dapat memenuhi dasar hidup mereka dan keluarga mereka masing-masing pada masa kini dan masa depan dengan selayaknya.
C.Landasan Alkitabiah Tentang Diakonia
Gereja dipanggil untuk membina hubungan dan kerjasama dengan pemerintah dan semua pihak di dalam membina hubungan dan kerjasama di dalam masyarakat untuk mendatangkan kebaikan dan damai sejahtera bagi semua orang, dalam rangka mewujudkan dan mendirikan tanda-tanda Kerajaan Allah menuju kesempurnaannya di dalam Yesus Kristus. Yesus menegaskan bahwa Ia datang untuk melayani dan menjadi dan tebusan bagi orang banyak (Mark. 10:35-45). Yesus menyatakan diri sebagai pelayan (Luk. 22:27), Ia melakukan pembasuhan kaki murid-muridNya (Yoh.13:1-15).Berilah keadilan kepada orang yang lemah dan kepada anak yatim, belalah hak orang sengsara dan orang yang kekurangan dan meluputkan orang yang lemah dan miskin (Mazmur. 82: 3-4) Kesemua pekerjaan dan pelayanan Yesus semasa hidupNya merefleksikan dengan jelas tentang makna signifikan dari istilah diakonia. Bahkan lebih dalam ditegaskan bahwa Yesus rela meninggalkan kemuliaanNya di Sorga, mengosongkan diri dan menjadi manusia, dan tergerak hatiNya oleh sebab belas kasihan kepada semua orang yang sakit dan kelaparan.
Dalam Perjanjian Baru, kata Diakonia dipakai sebanyak seratus kali dalam berbagai bentuk. Umumnya diartikan sebagai pelayanan Kristus atau pelayanan Jemaat (Kolose. 1:7). Namun makna yang paling dalam dan penting adalah pelayanan Kristus bagi umatNya (Markus 10:45) dengan memberikan nyawanya. Dalam gereja/jemaat kemudian dikenal istilah Diaken. Yaitu pelayan yang bertugas melayani jemaat di luar hal-hal yang berkaitan dengan Liturgi (kebaktian). Mereka bertugas memperhatikan kehidupan orang-orang yang berada dalam kesusahan terutama pada janda dan yatim piatu. Dari pola hidup persekutuan jemaat mula-mula yang meletakkan dasar pelayanan di atas pelayanan Yesus Kristus, maka jelas bahwa pemberitaan Firman itu tidak terpisahkan dari pelayanan (diakonia) dan juga persekutuan
jemaat (koinonia). Dalam perkembangan masa kini, pemahaman tentang makna diakonia telah semakin berkembang. Diakonia bukan lagi hanya sebatas tugas para diaken, melainkan tugas seluruh warga jemaat karena diakonia adalah tugas Gereja secara menyeluruh selaku tubuh Krustus. Diakonia juga bukan hanya ditujukan kepada sesame anggota jemaat tetapi juga kepada umat kepercayaan lain, bahkan sampai kepada seluruh ciptaan (Mark. 10:45). Diakonia juga bertujuan untuk meningkatkan kemandirian dan kepercayaan diri warga jemaat.
Untuk menuju sebuah bentuk pelayanan yang holistic, maka kita terlebih dahulu harus mengenal jenis-jenis diakonia. Adapun jenis diakonia tersebut antara lain:
1.Diakonia Karitatif
Karitatif berarti belas kasihan. Diakonia jenis ini memberikan pelayanan yang Cuma-Cuma kepada orang yang tidak mampu, kena penyakit, kemalangan atau menderita karena bencana alam. Kelemahan dari bentuk pelayanan diakonia ini adalah tidak bertujuan untuk membawa yang dilayaninya kepada suatu perubahan, melainkan hanya sekedar meringankan penderitaan mereka yang dilayani.
2.Diakonia Reformatif
Reformatif berarti merubah kearah yang lebih baik. Pelayanan diakonia ini berusaha meningkatkan kehidupan atau kondisi yang dilayani. Misalnya melalui penyuluhan atau pemberian bantuan berupa modal kerja.
3.Diakonia Transformatif
Transform artinya merubah bentuk atau susunan menjadi yang berbeda atau lain. Diakonia jenis ini berusaha melakukan perubahan yang mutlak, bukan sekedar mengusahakan peningkatan pada yang dilayani. Diakonia reformatif misalnya berusaha memampukan petani meningkatkan produksi pertanian dari tahun ke tahun berikutnya.
Dari ketiga jenis diakonia yang sangat relevan dalam menjawab kebutuhan jemaat dewasa ini adalah diakonia transformative. Mengapa? Sebab timbulnya usaha mengembangkan usaha diakonia Transformatif ini, adalah berdasarkan kenyataan bahwa baik diakonia karitatif dan Reformatif kedua-duanya sering tidak membantu masyarakat yang dilayani dalam memecahkan permasalahan mereka.
D.Tugas Yang harus dilakukan gereja
Sesuai dengan judul yang menekankan pada kata ‘holistik’ maka perlu dipahami pengertian kata ‘holistik’ tersebut. Kata ‘holistik’ berasal dari kata “whole’ (Inggris) yanng artinya : seluruhnya, sepenuhnya. ‘Kata ‘holistik’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai pengertian “ciri pandangan yang menyatakan bahwa keseluruhan sebagai suatu kesatuan lebih penting dari pada satu-satu bagian dari suatu organisme”. Berdasarkan pengertian kata holistik diatas maka istilah ‘Diakonia yang holistik’ adalah pelayanan yang bersifat menyeluruh, tidak terbagi-bagi. Pelayanan yang memandang, memahami, mendekati dan memperlakukan manusia sebagai satu keseluruhan yang utuh. Ini merupakan sebuah pengakuan bahwa hakikat manusia adalah memang terdiri atas unsur-unsur dan aspek-aspek yang berbeda-beda (multidimensional), namun demikian kepelbagaian itu tidak dipahami sebagai yang bersiafat dikhotomis (dapat dipisah-pisahkan atau saling dipertentangankan) ataupun hirarkis (seolah-olah ada unsur yang lebih penting atau lebih mulia dari unsur lainnya).
Berdasarkan uraian tentang pentingnya pelayanan diakonia ditengah-tengah kehidupan persekutuan jemaat dan masyarakat, maka yang harus dilakukan oleh gereja Toraja dalam pelayanan diakonia yang bersifat holistic adalah:
1.Para pelayan harus mampu mengenal apa yang menjadi kebutuhan semua warga jemaat, terutama bagi mereka yang mempunyai permasalahan.
2.Pemberitaan Injil dalam rangka menciptakan damai sejahtera, sebaiknya tidak hanya melalui pelayanan mimbar, tetapi harus langsung berwujud tindakan. Tindakan dalam arti bahwa pelayan diharapkan menjadi motivator di tengah-tengah jemaat yang mendampingi dan menuntun warga jemaat dan masyarakat untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan sesuai masing-masing bidang yang mereka tekuni. Misalnya memberikan pelatihan dan pendampingan langsung di bidang pertanian, peternakan, kesehatan, pendidikan. Sedangkan bagi pengembangan talenta, gereja harus memfasilitasi dengan pengadaan alat demi berkembangnya talenta yang ada pada diri mereka untuk menciptakan dan merasakan damai sejahtera.
3.Mendorong warga gereja dan masyarakat sebagai pelaku perubahan dalam segala aspek kehidupan.
4.Membuat percontohan yang kemudian akan menjadi rangsangan bagi warga jemaat dan masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan. Misalnya membuat kebun percontohan sayur-mayur, pengembangan peternakan dan sebagainya.
Dengan demikian Inti dari pelayanan diakonia yang holistic adalah pelayanan yang utuh yang menyentuh, memperhatikan, mengusahakan dan mengembangkan semua dimensi kebutuhan warga jemaat dan masyarakat demi terwujudnya kemandirian dan kesejahteraan dalam bingkai persekutuan Yesus Kristus.
SEKIAN
Artikel
ABSTRAK
Hidup dan kehidupan manusia bagaikan roda yang berputar terus-menerus tanpa mengenal waktu. Manusia mempunyai akal untuk memaknai dirinya dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang bermakna dalam kehidupannya. Sesuatu yang diciptakan oleh manusia mempunyai nilai yang berfungsi dan berperan di tengah-tengah komunitasnya. Bahwa manusia diberikan tugas dan tanggung jawab untuk memelihara, melestarikan serta mengarahkan nilai-nilai tersebut secara vertikal dan horisontal.
Manusia toraja adalah manusia berbudaya yang menciptakan nilai-nilai bagi kehidupannya yang terejawantahkan melalui simbol-simbol. Nilai yang tersimbolkan pada Tongkonan Layuk merupakan jati diri manusia toraja yang sarat akan nilai kepemimpinan dan persekutuan kepada yang ilahi, sesama dan lingkungan. Persekutuan tongkonan, kepemimpinan tongkonan dan tongkonan sebagai tempat dan pusat tidaklah bertentangan dengan Injil sebab nilai persekutuan tongkonan, kepemimpinan tongkonan dan sebagai tempat dan pusat adalah holistik dan mewakili nilai persekutuan dan kepemimpinan gereja.
Persekutuan dan kepemimpinan dalam gereja terpusat pada Sang Pendiri gereja yaitu Yesus Kristus. Dialah pemimpin sejati yang senantiasa memelihara dan mengayomi seluruh umat-Nya. Sebab persekutuan dalam gereja adalah persekutuan sebagai Tubuh Kristus, keluarga Allah dengan Kristus sebagai kepala atau pemimpinnya. Karena itu nilai Persekutuan pada Tongkonan Layuk (karapasan,kasiuluran, kada situru, kasianggaran, kombongan, kasiturusan, sikamasean, siangkaran dan to ke aluk) sejajar dengan nilai persekutuan dalam gereja yaitu kedamaian, kekeluargaan, saling mengasihi, gotong-royong dan ketaatan kepada Injil, dan sangat relevan dalam kehidupan berjemaat.
Hidup dan kehidupan manusia bagaikan roda yang berputar terus-menerus tanpa mengenal waktu. Manusia mempunyai akal untuk memaknai dirinya dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang bermakna dalam kehidupannya. Sesuatu yang diciptakan oleh manusia mempunyai nilai yang berfungsi dan berperan di tengah-tengah komunitasnya. Bahwa manusia diberikan tugas dan tanggung jawab untuk memelihara, melestarikan serta mengarahkan nilai-nilai tersebut secara vertikal dan horisontal.
Manusia toraja adalah manusia berbudaya yang menciptakan nilai-nilai bagi kehidupannya yang terejawantahkan melalui simbol-simbol. Nilai yang tersimbolkan pada Tongkonan Layuk merupakan jati diri manusia toraja yang sarat akan nilai kepemimpinan dan persekutuan kepada yang ilahi, sesama dan lingkungan. Persekutuan tongkonan, kepemimpinan tongkonan dan tongkonan sebagai tempat dan pusat tidaklah bertentangan dengan Injil sebab nilai persekutuan tongkonan, kepemimpinan tongkonan dan sebagai tempat dan pusat adalah holistik dan mewakili nilai persekutuan dan kepemimpinan gereja.
Persekutuan dan kepemimpinan dalam gereja terpusat pada Sang Pendiri gereja yaitu Yesus Kristus. Dialah pemimpin sejati yang senantiasa memelihara dan mengayomi seluruh umat-Nya. Sebab persekutuan dalam gereja adalah persekutuan sebagai Tubuh Kristus, keluarga Allah dengan Kristus sebagai kepala atau pemimpinnya. Karena itu nilai Persekutuan pada Tongkonan Layuk (karapasan,kasiuluran, kada situru, kasianggaran, kombongan, kasiturusan, sikamasean, siangkaran dan to ke aluk) sejajar dengan nilai persekutuan dalam gereja yaitu kedamaian, kekeluargaan, saling mengasihi, gotong-royong dan ketaatan kepada Injil, dan sangat relevan dalam kehidupan berjemaat.
Selasa, 16 November 2010
gambaran umum jemaat Ratte
NASEHAT KEHIDUPAN
Suatu hari seorang tua bijak didatangi seorang pemuda yang sedang dirundung masalah Tanpa membuang waktu pemuda itu langsung menceritakan semua masalahnya.
Pak tua bijak hanya mendengarkan dgn seksama, lalu Ia mengambil segenggam serbuk pahit dan meminta anak muda itu untuk mengambil segelas air.
Ditaburkannya serbuk pahit itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan,
"Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya ", ujar pak tua
"Pahit, pahit sekali ", jawab pemuda itu sambil meludah ke samping
Pak tua itu tersenyum, lalu mengajak tamunya ini untuk berjalan ke tepi telaga belakang rumahnya.
Kedua orang itu berjalan berdampingan dan akhirnya sampai ke tepi telaga yg tenang itu.
Sesampai disana, Pak tua itu kembali menaburkan serbuk pahit ke telaga itu, dan dengan sepotong kayu ia mengaduknya.
"Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah." Saat si pemuda mereguk air itu, Pak tua kembali bertanya lagi kepadanya,
"Bagaimana rasanya ?"
"Segar", sahut si pemuda.
"Apakah kamu merasakan pahit di dalam air itu ?" tanya pak tua
"Tidak, " sahut pemuda itu
Pak tua tertawa terbahak-bahak sambil berkata:
"Anak muda, dengarkan baik-baik. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam serbuk pahit ini, tak lebih tak kurang. Jumlah dan rasa pahitnyapun sama dan memang akan tetap sama. Tetapi kepahitan yg kita rasakan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkannya.
Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu yg kamu dapat lakukan;
Lapangkanlah dadamu menerima semuanya itu, luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu".
Pak tua itu lalu kembali menasehatkan:
"Hatimu adalah wadah itu; Perasaanmu adalah tempat itu; Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya.
Jadi jangan jadikan hatimu seperti gelas, buatlah laksana telaga yg mampu menampung setiap kepahitan itu, dan merubahnya menjadi kesegaran dan kedamaian.
Karena Hidup adalah sebuah pilihan, mampukah kita jalani kehidupan dengan baik sampai ajal kita menjelang?
Belajar bersabar menerima kenyataan adalah yang terbaik"
Suatu hari seorang tua bijak didatangi seorang pemuda yang sedang dirundung masalah Tanpa membuang waktu pemuda itu langsung menceritakan semua masalahnya.
Pak tua bijak hanya mendengarkan dgn seksama, lalu Ia mengambil segenggam serbuk pahit dan meminta anak muda itu untuk mengambil segelas air.
Ditaburkannya serbuk pahit itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan,
"Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya ", ujar pak tua
"Pahit, pahit sekali ", jawab pemuda itu sambil meludah ke samping
Pak tua itu tersenyum, lalu mengajak tamunya ini untuk berjalan ke tepi telaga belakang rumahnya.
Kedua orang itu berjalan berdampingan dan akhirnya sampai ke tepi telaga yg tenang itu.
Sesampai disana, Pak tua itu kembali menaburkan serbuk pahit ke telaga itu, dan dengan sepotong kayu ia mengaduknya.
"Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah." Saat si pemuda mereguk air itu, Pak tua kembali bertanya lagi kepadanya,
"Bagaimana rasanya ?"
"Segar", sahut si pemuda.
"Apakah kamu merasakan pahit di dalam air itu ?" tanya pak tua
"Tidak, " sahut pemuda itu
Pak tua tertawa terbahak-bahak sambil berkata:
"Anak muda, dengarkan baik-baik. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam serbuk pahit ini, tak lebih tak kurang. Jumlah dan rasa pahitnyapun sama dan memang akan tetap sama. Tetapi kepahitan yg kita rasakan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkannya.
Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu yg kamu dapat lakukan;
Lapangkanlah dadamu menerima semuanya itu, luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu".
Pak tua itu lalu kembali menasehatkan:
"Hatimu adalah wadah itu; Perasaanmu adalah tempat itu; Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya.
Jadi jangan jadikan hatimu seperti gelas, buatlah laksana telaga yg mampu menampung setiap kepahitan itu, dan merubahnya menjadi kesegaran dan kedamaian.
Karena Hidup adalah sebuah pilihan, mampukah kita jalani kehidupan dengan baik sampai ajal kita menjelang?
Belajar bersabar menerima kenyataan adalah yang terbaik"
Langganan:
Postingan (Atom)