WELCOME TO MY BLOG....GOOD BLESS YOU

WELCOME TO MY BLOG....GOD BLESS YOU
Silahkan Menelusuri Blog Ini....

Sabtu, 20 November 2010

Manusia Toraja dan Tongkonan

Manusia Toraja dan Tongkonan
Dalam kalangan masyarakat toraja, ada beberapa pemahaman yang berkembang tentang keberadaan Tongkonan. Pemahaman tersebut berasal baik dari tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh gereja maupun dari anggota masyarakat. Pendapat-pendapat itu antara lain:
1. Bahwa Tongkonan adalah tempat duduk atau kedudukan yang berarti rumah pusaka yang telah turun-temurun lama (bnd. J. Tammu & van der Veen) . Pemahaman ini berarti pula bahwa Tongkonan merupakan suatu “tempat/kedudukan” yang mempunyai fungsi, peran dan nilai sosial, keagamaan dan hukum dalam masyarakat.
2. Bahwa Tongkonan itu adalah rumah adat Toraja. Dalam arti bahwa semua rumah yang berbentuk perahu itu adalah Tongkonan .
3. Rumah Tongkonan adalah lebih berorientasi pada fungsi sosial dan bukan dalam bentuk/fisik .
4. Bahwa Tongkonan adalah pusat kebudayaan Toraja, sama seperti keraton di Jawa atau istana kerajaan-kerajaan di mana saja . Hal ini menandakan bahwa tongkonan merupakan lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat dalam wilayah tongkonan tersebut.
5. Bahwa Tongkonan adalah tempat bermusyawarah/balai pertemuan keluarga dan masyarakat yang lahir dan berketurunan dari Tongkonan tersebut .
Dengan melihat pendapat di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa penamaan tongkonan pada sebuah tempat, berlaku ketika masyarakat toraja menyadari perlunya kehadiran pemerintah/pemimpin untuk mengatur dan menyelesaikan segala sesuatu yang terjadi dan berlaku di tengah-tengah masyarakat atau dengan kata lain Tongkonan bukanlah sebuah nama, melainkan jenis benda yang mempunyai nama. Jadi tidak ada tongkonan yang tidak memiliki nama sebab tanpa nama ia bukanlah sebuah tongkonan. sebab itu kata an yang mengikuti tongkon dapat diartikan sebagai:
a. Kata keterangan yang menunjuk pada sebuah tempat tertentu, misalnya Banua puan, Kaero, Lion, To katapi, buntu pune, Kete’ kesu dan sebagainya.
b. Kata keterangan yang menjelaskan sifat dan fungsi tertentu, misalnya layuk, sangulele, Pesio aluk, Pa’ buntuan sugi dan sebagainya.

1. Bentuk Tongkonan
Bentuk tongkonan yang ada sekarang ini merupakan perkembangan terakhir dari masyarakat toraja dalam membangun tempat tinggalnya. Jauh sebelum bangunan ini, sebenarnya ada beberapa kali terjadi perubahan model/bentuk dari tempat tinggal manusia toraja pada mulanya. Adapun tempat tinggal tersebut dapat kita bagi dalam empat perkembangan yaitu:
1. Banua pandoko dena (rumah tenda “”).
Bentuk tempat tinggal seperti ini berasal dari langit dan beratapkan maa’ (kain pusaka). Tetapi dalam perkembangannya kemudian, atap rumah ini dibuat dari rumput alang-alang. Rumah ini tidak diletakkan di atas tanah, melainkan ia digantung sehingga nama rumah ini juga dikenal dengan nama banua di toke’(rumah yang digantung).

2. Banua Lentong A’pa’/Patongkon a’pa’ (Rumah dengan memakai empat tiang). Bentuk rumah seperti ini mulai dikembangkan sejak hadirnya penduduk baru yang sudah mengenal alat-alat dari besi. Atap rumah ditopang oleh empat buah tiang di setiap sudutnya. Rumah ini masih beratap dan berdindingkan rumput alang-alang.
3. Banua ditamben.(tamben=berselang seling).
Bangunan ini didirikan dengan menyusun kayu secara berselang seling yang kemudian membentuk badan rumah. Bentuk atap masih tetap berbentuk segi tiga. Pada bentuk bangunan inilah mulai dikenal adanya penguasa adat dan diberlakukannya sebuah sistem kepemerintahan. Rumah milik penguasa di tempatkan di sebuah dataran/tempat yang tinggi sebagai simbol kekuasaan.
4. Banua Tonglo atau banua sanda a’riri (sanda=banyak, a’riri= tiang).
Bentuk dari bangunan inilah yang dapat kita lihat sebagaimana yang kita kenal sekarang ini sebagai rumah adat Toraja kecuali pada ukirannya dimana ukiran yang ada pada mulanya hanya empat dasar (Garonto Passura), yaitu :
a. Ukiran Pa’ Bare Allo yang bentuknya seperti bundarnya matahari (allo) dan bundarnya Bulan (bulan) adalah ukiran yang melambangkan kesatuan dari negeri Tondok Lepongan Bulan Tana Matari Allo.
b. Ukiran Pa’ Manuk Londong yaitu ukiran yang bergambar ayam jantan yang melambangkan adanya aturan dan norma-norma hukum masyarakat dari kesatuan negeri Tondok Lepongan Bulan Gontingna Matari Allo.
c. Pa, Tedong yaitu ukiran yang bentuknya seperti gambar kepala kerbau, yang artinya sebagai lambang kehidupan kerja dan kemakmuran (kekayaaan)
d. Pa’ Sussuk yaitu ukiran yang hanya merupakan jalur-jalur lurus yang sama bentuknya, yang mengartikan bentuk dari pergaulan manusia toraja, yaitu hidup dalam kebersamaan (persaudaraan ) maupun melambangkan kehidupan dan hubungan manusia dengan Tuhannya
Jadi dapat pula dikatakan bahwa masyarakat toraja yang tidak memiliki aksara mulai memvisualisasikan pemahaman hidupnya melalui ukiran dan warna . Adapun bentuk bangunan tidaklah mengeser bentuk rumah sebelumnya. Hal ini dapat terlihat dengan masih adanya bentuk rumah barung-barung sebagai hasil perpaduan dari bentuk rumah pantongkon a’pa sampai sekarang ini . Bentuk rumah ditonglo ini pada awalnya hanya dibangun dan diperuntukkan bagi penguasa/pemimpin.


2. Jenis/Golongan Rumah Orang Toraja
Oleh masyarakat toraja dalam komunitas sosialnya, rumah sebagai tempat tinggal dan kedudukannya dalam masyarakat dipahami dalam dua hal, yaitu:

a. Banua Tongkonan
Bentuk bangunan ini adalah rumah Tonglo’. Rumah ini dikatakan sebagai sebuah tongkonan apabila ia mempunyai fungsi dan peran di dalam masyarakat. Fungsi dan peran itu adalah terjadinya kekuasaan dan pemerintahan. Kemunculan fungsi ini semakin besar ketika penguasa-penguasa baru (to manurun di langi’) datang dan memperkenalkan sistem kekuasaan dan pemerintahan yang baru .
Kedatangan ini juga kemudian memunculkan pembagian dan penamaan tongkonan menurut peran dan fungsinya masing-masing di tengah-tengah masyarakat. Adapun tingkatan tongkonan tersebut adalah:
1. Tongkonan Layuk (Maha-Tinggi-Agung) yaitu Tongkonan yang pertama-tama menjadi tempat sumber perintah dan kekuasan-kekuasaan dengan peraturan-peraturan tertentu di Tana Toraja dahulu kala. Tongkonan Layuk ini kemudian dikenal sebagai Tongkonan Pesio’ Aluk (Pesio’ = pembuat-pencipta; Aluk = agama-aturan masyarakat). Sebab itu untuk dikatakan sebagai Tongkonan Layuk, maka tongkonan itu sendiri haruslah memenuhi semua syarat dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Ciri-ciri dari tongkonan ini dapat kita lihat dengan adanya Kabongo’ Katik, empat dasar ukiran (garonto passura) dan A’riri Posi . Untuk tiga ciri pertama juga terdapat pada Tongkonan Pekaamberan/Pekaindoran.
2. Tongkonan Pekaamberan/pekaindoran (Pekaamberan = kedudukan bapak; pekaindoran = kedudukan ibu) yang juga biasa disebut dengan Tongkonan Kaparenggesen sebagai tongkonan anak to patalo. Tongkonan ini didirikan oleh penguasa-penguasa dalam masing-masing daerah untuk mengatur pemerintahan adat berdasarkan aturan dari Tongkonan Layuk/Pesio’ Aluk.
3. Tongkonan Batu A’riri (Batu = batu; A’riri = tiang, penyanggah) yaitu tongkonan yang tidak mempunyai peranan dan kekuasaan adat, tetapi tongkonan yang hanya sebagai tempat persatuan dan tempat pembinaan keluarga dari turunan yang pertama-tama membangun rumah Tongkonan itu.

b. Banua barung-barung
Bangunan rumah ini terbuat dari bambu dan dapat pula dikatakan sebagai rumah pondok. Bentuk rumah ini adalah banua patongkon apa dengan terjadi penambahan pada adanya tiang rumah sehingga rumah ini sama dengan rumah panggung . Rumah atau bangunan rumah ini merupakan hak perorangan atau pribadi yang tidak mempunyai peranan dan fungsi adat. Rumah ini dalam perkembangan masyarakat toraja kemudian dibuat sama dengan model banua tongkonan namun bukan berarti rumah ini dapat dikatakan sebagai sebuah tongkonan . Namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa rumah barung-barung atau rumah pribadi ini akan dapat meningkat statusnya menjadi sebuah tongkonan di kemudian hari, apabila rumah itu:
a. Mempunyai peninggalan harta benda yang perlu dipelihara oleh seluruh turunan dari Tongkonan itu.
b. Mempunyai kedudukan baru dalam masyarakat dan menduduki satu peranan adat. Dalam arti bahwa, statusnya dapat meningkat, apabila keturunan dari rumah barung-barung itu pernah berjasa dalam suatu wilayah/penanian, sehingga kemudian mendapat suatu gelar di tengah-tengah masyarakat .
c. Mempunyai sesuatu yang telah menguntungkan bagi semua keturunannya, berjasa dan pernah menang perang dalam mempertahankan kedaulatan dari rumah dan penanian/tempat dimana rumah itu berada. Apabila hal ini terjadi, maka status rumah tersebut berubah menjadi Tongkonan Pekaamberan-pekaindoran yang dalam perannya disebut sebagai Tongkonan Kaparenggesan atau Tongkonan anak to patalo .
Dalam peristiwa peningkatan status rumah barung-barung menjadi sebuah Tongkonan, tidaklah mudah sebab selain hal di atas juga diperlukan persetujuan dari seluruh turunan (generasi) dari garis keturunan rumah tersebut, persetujuan dari masyarakat dan perlu juga dilakukan upacara peresmian dari keluarga yang akan menjadikan rumah/barung itu menjadi tongkonan.
Terjadinya perubahan dan adanya kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kedudukan sebuah tongkonan melahirkan penamaan-penamaan pada tongkonan untuk membedakan keberadaannya dalam lingkungan masyarakat pada segi fungsi dan peran seperti yang telah dipaparkan di atas.
Perlu juga dipahami bahwa dalam masyarakat toraja yang terbagi dalam tiga daerah adat masing-masing memiliki tiga jenis atau tingkatan tongkonan. Bahwa dalam satu wilayah adat, jenis tongkonan ini masih terbagi ke beberapa tempat, misalnya di daerah di pekaamberan juga terdapat beberapa Tongkonan Layuk. Tongkonan Layuk tersebut antara lain: Tongkonan Layuk Kesu' di Ke’te Kesu, Tongkonan Layuk To’ Sendana di Sereale Tikala, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar