WELCOME TO MY BLOG....GOOD BLESS YOU

WELCOME TO MY BLOG....GOD BLESS YOU
Silahkan Menelusuri Blog Ini....

Rabu, 17 November 2010

Artikelku

Masyarakat yang ingin maju dan berkembang adalah masyarakat yang berbudaya, sehingga tidak mengherankan bagi kita kalau ada yang menyatakan bahwa tanpa kebudayaan, suatu masyarakat akan disebut sebagai masyarakat yang statis, masyarakat yang mati dalam memahami simbol dalam pemaknaannya, sehingga masyarakat tersebut disebut sebagai masyarakat yang tidak berkembang.
Kata kultur (culture) yang sama artinya dengan kebudayaan dalam pengertian segala daya upaya dan tindakan manusia mengolah tanah dan menata alam, berasal dari bahasa latin Colere. Menurut J. Verkuyl perkataan itu berarti mengolah, mengerjakan tanah atau bertani, dan sebagainya . Perkembangan hidup manusia yang dinamis turut pula mempengaruhi perkembangan bagi kebudayaan. Begitu halnya dengan nilai-nilai dan norma-norma tradisional turut mengalami perubahan. Dengan demikian jelaslah bahwa kebudayaan itu dinamis .
Hal yang sama dituntut untuk dinyatakan dan dilakukan oleh gereja, dimana gereja diutus ke dalam dunia untuk berada dalam dunia, dalam rangka mengemban misi Allah, yaitu memberitakan Injil. Gereja bukanlah suatu lembaga manusia walaupun manusia dipercayakan untuk menyelenggarakannya. Gereja itu berasal dari Allah, dan karena itu semua prinsip-prinsip dan norma-norma
yang berlaku di dalamnya berasal dari Tuhan sendiri . Dalam mengemban dan melaksanakan misinya di dalam dunia, gereja selalu berjumpa dan hidup bersama dengan kebudayaan-kebudayaan dimana ia hadir untuk menyampaikan misinya. Perjumpaan antara Injil dengan kebudayaan, merupakan persoalan yang sudah berlangsung lama dan berlaku sepanjang sejarah kekristenan. Adapun dalam sepanjang sejarah kekristenan, Injil selalu berhubungan dengan kebudayaan, karena kebudayaan merupakan suatu unsur yang menentukan dalam konteks dimana gereja berada. Sehingga dalam sejarah gereja, kebudayaan menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan berhasil tidaknya Injil memasuki sendi-sendi kebudayaan itu.
Sebagai satu suku Bangsa di Sulawesi Selatan orang toraja mengembangkan bentuk kebudayaannya sendiri, sehingga lewat kebudayaan tersebut orang toraja mempunyai kedudukan tersendiri dan unik di antara suku-suku yang ada. Salah satunya adalah pembangunan Rumah. Rumah di Tana Toraja selain didiami oleh manusia sama dengan rumah-rumah di daerah lain, juga mempunyai fungsi serta peran maupun arti yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat toraja dan merupakan hal atau masalah yang tak dapat dipungkiri oleh setiap manusia toraja dimanapun dia berada. Rumah pribadi berbeda dengan rumah Tongkonan. Rumah yang bernama tongkonan dianggap sebagai pusaka dan hak milik turun-temurun yang berasal atau berketurunan dari manusia yang pertama membangun tongkonan tersebut. Rumah tongkonan juga berperan sebagai tempat kedudukan pemimpin adat/masyarakat dan merupakan tempat dibuatnya aturan-aturan sosial kemasyarakatan, hukum kemasyarakatan dan ritual keagamaan . Sementara itu, rumah biasa atau yang biasa disebut banua barung-barung hanya berfungsi dalam membina persekutuan keluarga/pribadi dan tidak mempunyai peranan dalam adat .
Rumah tongkonan yang terbagi atas beberapa tingkatan merupakan tempat untuk berkumpul mendengar, membicarakan dan menyelesaikan segala masalah yang penting-penting . Dahulu seorang yang memegang kekuasaan dan menjabat tugas adat selalu didatangi oleh masyarakat untuk meminta perintah dan petunjuk atas setiap masalah yang ada dalam daerah kekuasaan penguasa itu tinggal. Semua orang yang datang itu kemudian duduk mendengar dan menerima perintah dari penguasa itu. Jadi dapatlah dikatakan pula bahwa nilai dasar dari tongkonan adalah persekutuan yang membuat dan mengembangkan hidupnya dalam kehidupan bersama berdasarkan kaidah-kaidah normatif yang merupakan perekat kehidupan persekutuan itu. Dengan kata lain, falsafah masyarakat toraja adalah persekutuan berdasarkan Aluk Sola Pemali. Nilai-nilai dasar inilah yang dibuat, dikembangkan serta dijaga di tongkonan.
Dengan demikian, penamaan tempat tinggal sebagai sebuah tongkonan dimulai ketika sistem kepemerintahan berlaku di tengah-tengah masyarakat. Bersamaan dengan itu pula, stratifikasi dalam masyarakat sangat berpengaruh terhadap sistem pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat.
Bagi Gereja Toraja yang hadir dan bertumbuh dalam konteks budaya dan adat Toraja, senantiasa menyadari kehadiran dan pelayanannya dalam konteks tersebut. Karena itu dibutuhkan strategi untuk membentuk pola-pola hidup dan pelayanan dalam jemaat Gereja Toraja. Salah satu strategi yang menurut hemat penulis sangat penting adalah mengangkat nilai-nilai budaya yang terkandung pada budaya Tongkonan Layuk. Untuk itu dibutuhkan suatu kajian yang mendalam terhadap nilai-nilai tersebut.
Melihat bahwa nilai, fungsi, peran dan pengaruh yang melekat pada Tongkonan Layuk sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia toraja yang sebagian besar adalah merupakan warga gereja maka perlulah Gereja Toraja secara khusus untuk melakukan upaya transformasi “tongkonan” berdasarkan iman Kristen sehingga menjadi sarana pekabaran Injil, sebagai salah satu upaya kontekstualisasi teologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar